
KONSEP FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
Oleh : H. Herri Azhari, M.Ag
A. PENDAHULUAN
Falsafat sebagai pandangan hidup erat kaitannya dengan nilai tentang sesuatu yang dianggap benar. Jika falsafat itu dijadikan pandangan hidup oleh suatu masyarakat atau bangsa, maka mereka berusaha untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan yang nyata. Di sini falsafat sebagai pandangan hidup difungsikan sebagai tolok ukur bagi nilai-nilai tentang kebenaran yang harus dicapai.
Untuk mewujudkan nilai-nilai yang terkandung dalam falsafat atau pandangan hidup dilakukan dengan berbagai cara. Salah satu diantaranya adalah melalui pendidikan. Dengan demikian suatu falsafat bagi masyarakat atau bangsa berkaitan erat dengan sistem pendidikan yang dirancang.
Falsafat hidup, dalam hubungannya dengan sistem pendidikan bagaimanapun mempunyai jalinan hubungan timbal balik. Falsafat hidup yang diyakini sebagai suatu yang dianggap benar, pada tahap awal pada dasarnya merupakan suatu konsep pemikiran yang menjadi dasar dan tujuan yang dicita-citakan. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut kemudian diusahakan agar nilai-nilai kebenaran yang terkandung di dalamnya dikaitkan dengan berbagai kegiatan dan aspek kehidupan seperti politik, ekonomi, sosial, hukum maupun pendidikan. Dengan kata lain, dalam penerapannya, falsafat hidup dijadikan dasar dan tujuan dari setiap aspek kegiatan masyarakat atau bangsa yang menganutnya. Maka menjadilah falsafat tadi sebagai kerangka acuan dalam bidang masing-masing sebagai falsafat politik, falsafat ekonomi, falsafat hukum, falsafat sosial dan falsafat pendidikan.
Dalam kaitan ini dapat dilihat hubungan antara falsafat hidup dengan sistem pendidikan ataupun dengan sistem-sistem lainnya dalam suatu masyarakat atau negara, sesuai dengan pandangan hidup yang mereka anut masing-masing, sebagai suatu nilai yang mereka anggap memiliki nilai-nilai tentang kebenaran. Falsafat atau pandangan hidup merangkum dasar dan tujuan dari suatu sistem, termasuk di dalamnya sistem pendidikan.
Adapun Islam, sebagai suatu konsep ajaran yang diyakini memiliki nilai-nilai tentang kebenaran oleh penganutnya (muslimin), pada dasarnya juga merupakan falsafat dan pandangan hidup mereka. Lebih jauh, sebagai konsep Ilahiyyat, ajaran Islam menurut pandangan muslim mengandung kebenaran yang hakiki. Keyakinan ini mendorong kaum muslimin untuk menjadikan sumber ajaran Islam yang termuat dalam al-Quran dan hadits sebagai dasar dan tujuan untuk mewujudkan suatu tatanan kehidupan yang Islami. Tatanan tersebut diupayakan agar terwujud dalam berbagai aspek kehidupan dalam bentuk sistem yang terpadu.
Dengan demikian, sistem pendidikan sebagai bagian dari tatanan kehidupan yang dicita-citakan itu, pada hakikatnya tak mungkin terlepas dari keterkaitannya dengan ajaran Islam itu scndiri. Sistem pendidikan Islam baru dapat dinilai Islami, hanyalah kalau secara serasi dan konsisten dapat diwujudkan sesuai dengan konsep ajaran al-Quran dan hadits, yang menjadi dasar dan tujuan hidup muslim. Dengan kata lain, pandangan hidup muslim seperti yang termuat dalam ajaran al-Quran dan hadits juga adalah menjadi falsafat pendidikan Islam. Adanya hubungan timbal balik seperti ini menyebabkan sistem pendidikan Islam tak mungkin dipisahkan dengan falsafat dan pandangan hidup muslim itu sendiri.
Kajian falsafat pendidikan Islam beranjak dari kajian falsafat pendidikan yang termuat dalam al-Quran dan hadits yang telah diterapkan oleh Nabi Muhammad SAW. selama hayat beliau, baik selama periode Mekkah maupun selama periode Madinah. Falsafat pendidikan Islam yang lahir bersamaan dengan turunnya wahyu pertama itu telah meletakkan dasar kajian yang kokoh, mendasar, menyeluruh serta terarah ke suatu tujuan yang jelas, yaitu sesuai dengan tujuan ajaran Islam itu sendiri.
Mungkin karena adanya tujuan yang tunggal itu pula, maka adakalanya orang berpendapat bahwa Islam belum memiliki falsafat dan sistem pendidikan yang berdiri sendiri sebagai sebuah disiplin ilmu. Keberatan ini, barangkali muncul karena didasarkan atas penilaian bahwa kerangka dasar falsafat dan pendidikan Islam bersumber dari wahyu, bukan dari hasil pemikiran murni manusia (rasio), sebagai layaknya prinsip-prinsip keilmuan yang berlaku di kalangan ilmuwan. Paling tidak penalaran yang merupakan proses berpikir dalam menarik suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan menurut paradigma ilmuwan harus didasarkan atas ciri-ciri tertentu. Berpikir untuk menemukan pengetahuan yang benar didasarkan pada logika tertentu. Selain itu kegiatan berpikir harus disandarkan pada cara berpikir yang bersifat analitik. Dengan demikian berpikir ilmiah yang memungkinkan manusia untuk menemukan kebenaran ilmiah adalah berpikir secara analitis yang mempergunakan logika ilmiah (Jujun Suriasumantri, 1990).
Berpikir yang mengandalkan wahyu sebagai sumber kebenaran dinilai sebagai kegiatan berpikir yang non analitik karena tidak mendasarkan kepada pola berpikir tertentu. Berpikir seperti ini dipandang sebagai berpikir yang intuitif. Dalam berpikir intuitif ini manusia berada pada posisi yang pasif. Padahal yang dikehendaki oleh ilmu pengetahuan adalah hasil pemikiran berupa kesimpulan sebagai produk dari usaha aktif manusia dalam menemukan kebenaran, bukan pengetahuan yang dianugerahkan (Tuhan).
Dari sinilah tampaknya munculnya persimpangan arah yang membedakan pendapat antara kebenaran ilmiah dengan kebenaran agama. Kebenaran ilmiah berdasarkan kebenaran yang bersumber dari rasio dan fakta, sedangkan kebenaran agama bersumber dari keyakinan. Walaupun sebenarnya para ilmuwan pun mengakui berpikir intuitif sulit untuk dilepaskan dari sumber kebenaran. Sebab secara implisit diakui wahyu dan intuisi adalah juga sumber pengetahuan (Jujun, 1991:266).
Adapun pokok bahasan dalam makalah ini dititikberatkan pada beberapa masalah yang menyangkut pemikiran tentang falsafat pendidikan Islam, yaitu :
(1) Arti, dasar dan tujuan falsafat pendidikan Islam
(2) Metode mempelajari falsafat pendidikan Islam
(3) Manusia menurut Filsafat pendidikan Islam
(4) Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam
A. Arti, Dasar Dan Tujuan Falsafat Pendidikan Islam
Falsafat pendidikan Islam terbentuk dari perkataan falsafat, pendidikan dan Islam. Penambahan kata Islam di akhir gabungan kata tersebut dimaksudkan untuk membedakan falsafat pendidikan Islam dari pengertian yang terkandung dalam falsafat pendidikan secara umum. Dengan demikian falsafat pendidikan Islam mempunyai pengertian khusus yang ada kaitannya dengan ajaran Islam.
Selanjutnya untuk menjelaskan pengertian mengenai falsafat pendidikan Islam secara utuh, agaknya ketiga kata yang tergabung dalam konsep tadi perlu dijelaskan. Melalui uraian seperti itu diharapkan akan lebih memperjelas makna yang terkandung atau yang dimaksud dengan falsafat pendidikan Islam.
1. Falsafat Pendidikan Dan Falsafat Pendidikan Islam
Kata falsafat (filsafat) tampaknya memang sulit untuk diartikan secara tepat. Makna yang tercakup dalam pengertiannya sampai sekarang telah dikembangkan berdasarkan sudut pandang mereka yang menafsirkannya.
Adapun pengertian falsafat itu sendiri menurut asal katanya adalah "cinta akan kebenaran", yang diambil dari kosa kata bahasa Yunani philos (cinta) dan sophia (kebenaran) (Hasan Shadily, 1980). Yang dimaksud dengan "kebenaran" adalah kebenaran yang didasarkan atas penilaian menurut nalar manusia. Karena itu "kebenaran" menurut Plato dan Aristoteles adalah apabila "pernyataan yang dianggap benar itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan sebelumnya" (Jujun, 1990).
Kebenaran yang seperti itu tampaknya bersifat relatif. Sebab bagaimanapun penilaian mengenai sesuatu yang dianggap benar sangat tergantung kepada ruang dan waktu. Apa yang dianggap benar oleh suatu masyarakat atau bangsa, belum tentu akan dinilai sebagai suatu kebenaran oleh masyarakat atau bangsa lain, walaupun dalam kurun waktu yang sama. Sebaliknya, sesuatu yang dianggap benar oleh suatu masyarakat atau bangsa tertentu dalam suatu zaman, akan berbeda pada zaman-zaman berikutnya. Makanya wajar jika pengertian falsafat itu sendiri mengalami perubahan. Belum ada kesepakatan bersama antara para filosof mengenai apa yang dimaksud dengan falsafat itu sendiri. Masing-masing berhak dan berusaha untuk mengemukakan pendapatnya.
Socrates (470-399 S.M.) mengatakan berfalsafat merupakan cara berpikir yang radikal, menyeluruh dan mendasar (Jujun, 1990). Di zaman Socrates, di Yunani, falsafat belum menjadi disiplin ilmu yang otonom melainkan merupakan suatu tata cara yang diaplikasikan dalam kehidupan. Falsafat adalah suatu cara hidup yang konkret, suatu pandangan hidup yang total tentang manusia dan alam yang menyinari seluruh kehidupan manusia (Titus, Smith dan Nolan, 1984).
Selanjutnya sejalan dengan perkembangan peradaban manusia dan problema kehidupan yang dihadapinya, maka pengertian teoritis, seperti yang berkembang di zaman Yunani, secara berangsur kehilangan kemampuannya untuk memberikan jawaban secara utuh dan memuaskan tentang kebenaran. Selanjutnya perkembangan peradaban itu sendiri telah memberi peluang kepada manusia untuk melakukan loncatan besar dalam bidang sains, teknologi, kedokteran, ilmu-ilmu sosial dan pendidikan (Tintus, Smith dan Nolan, 1984).
Adanya perkembangan dan perubahan yang terjadi mendorong manusia untuk memikirkan kembali mengenai pengertiannya tentang nilai-nilai kebenaran. Sebab setiap terjadi perubahan dalam suatu peradaban, bagaimanapun akan mempengaruhi sistem nilai yang ada. Makanya antara perubahan peradaban dan cara berpikir manusia senantiasa terdapat hubungan timbal balik.
Perubahan yang terjadi dalam adat, kebiasaan dan sejarah, lazimnya dimulai dengan adanya (muncul) sekelompok orang yang yakin akan nilai sesuatu yang ideal atau tertarik kepada pandangan hidup yang lain (Titus, Smith dan Nolan, 1984). Dengan demikian adalah merupakan hal yang wajar jika pandangan masing-masing mengenai nilai-nilai kebenaran jadi berbeda. Sehingga muncul pendapat-pendapat lain (baru) tentang apa yang disebut kebenaran, sesuai dengan pandangan mereka masing-masing.
Selanjutnya dalam pengertian yang lebih luas Harold Titus mengemukakan lima pengertian mengenai falsafat. Mungkin dengan pengertian ini dimaksudkannya untuk menunjukkan betapa sulitnya untuk merangkum pengertian falsafat itu dalam sebuah definisi yang lengkap. la mengemukakan pengertian falsafat sebagai berikut :
Falsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara kritis.
Falsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat kita junjung tinggi.
Falsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan.
Falsafat adalah analisa logis dari bahasan serta penjelasan tentang arti kata dan konsep.
Falsafat adalah sekumpulan problema-problema yang langsung mendapat perhatian dari manusia dan yang dicarikan jawabannya oleh ahli falsafat (Titus, 1984, 11-14).
Karena pemikiran yang bersifat falsafi didasarkan atas pemikiran yang bersifat spekulatif, maka nilai-nilai kebenaran yang dihasilkannya juga tak terhindar dari kebenaran yang spekulatif. Hasilnya akan sangat tergantung dari pandangan para filosof itu masing-masing. Karena itu pendapat yang baku dan diterimaoleh semua pihak, agaknya sulit dapat diwujudkan. Walaupun menurut Harun Nasution intisari dari falsafat itu sendiri ialah berpikir menurut tata tertib (logika) dengan bebas (tidak terikat pada tradisi, dogma dan agama) dan dengan sedalam-dalamnya sehingga sampai ke dasar-dasar persoalan (Harun Nasution, 1973). Cara berpikir serupa itu menurut Jujun S. Suriasumantri, sebagai karakteristik dari berpikir filosofis. la memandang berpikir falsafi merupakan cara berpikir yang mendasar, menyeluruh dan speku-latif (Jujun, 1980).
Dalam kaitannya dengan pengertian tersebut, Imam Barnadib memandang falsafat sebagai pandangan yang menyeluruh dan sistematis. Dikatakan menyeluruh karena falsafat bukan hanya sekedar pengetahuan, melainkan suatu pandangan yang dapat menembus sampai di balik pengetahuan itu sendiri. Selanjutnya melalui pandangan yang demikian terbuka kemungkinan untuk menemukan hubungan dan pertalian antara semua unsur yang dipertinggi, dengan mengarahkan perhatian dan kedalaman mengenai kebijakan. Dikatakan sistematis karena falsafat menggunakan berpikir secara sadar, teliti dan teratur, sesuai dengan hukum-hukum yang ada (Imam Barnadib, 1982).
Pemikiran falsafi dapat dibedakan dengan pemikiran lain yang bukan falsafi. Pemikiran yang bersifat falsafat setidaknya memiliki ciri-ciri yang jelas. Antara lain berpikir falsafi tertuju kepada upaya untuk mengadakan pemeriksaan dan penemuan. kemudian berpikir falsafi bersifat radikal, mengarahkan pandangan pada mengapa yang terakhir (akhir dari segala sesuatu) dengan menggunakan kemampuan yang optimal dari akal budi manusia. Fakta yang terlihat adalah hasil tinjauan dan penelitian dalam kaitannya dengan suatu bentuk interpretasi dalam konteks dengan lingkungan yang lebih luas. Permasalahan yang menjadi kajian falsafat menyangkut nilai yang menentukan, mana yang paling baik untuk dijadikan pandangan hidup manusia. Dengan demikian berpikir falsafi menuju pada sasaran yang lebih luas, menjurus, total dan komprehensif. Berpikir yang demikian akan menjurus kepada masalah yang sempit (khusus) dan tinjauan yang mendalam (hakikat sesuatu).
Falsafat, karakteristiknya tidak memberi sarana-sarana, akan tetapi mengajukan pertanyaan tentang tujuan dan tentang makna-makna (Garaudy, 1986). Dalam pengertian sekarang, falsafat diartikan sebagai ilmu yang berusaha untuk memahami semua hal yang timbul di dalam keseluruhan ruang lingkup pengalaman manusia. Dengan demikian diharapkan agar manusia dapat mengerti dan mempunyai pandangan menyeluruh dan sistematis mengenai alam semesta dan tempat manusia di dalamnya. Yang di maksud dengan di dalamnya, adalah bahwa manusia merupakan kesatuan dari dunia. Dan dengan adanya manusia, tentu manusia itu mempunyai caranya berada (Harun Nasution, 1973).
Jelasnya, falsafat berhubungan dengan upaya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam berbagai lapangan kehidupan manusia. Jawaban merupakan hasil pemikiran yang sistematis, menyeluruh dan mendasar. Dan jawaban yang seperti itu, juga digunakan untuk memecahkan masalah-masalah yang menyangkut bidang pendidikan, yang disebut sebagai falsafat pendidikan.
Falsafat pendidikan, menurut John Dewey adalah teori umum dari pendidikan, landasan dari semua pemikiran umum mengenai pendidikan (Imam Barnadib, 1982). Falsafat pendidikan kata Imam Barnadib, adalah ilmu yang pada hakikatnya merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam lapangan pendidikan dan merupakan penerapan suatu analisa filosofis terhadap lapangan pendidikan (Imam Barnadib, 1986).
Lebih jauh, Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibany, melihat falsafat pendidikan adalah pelaksanaan pandangan falsafat dan kaidah falsafat dalam pengalaman manusia yang disebut pendidikan (al-Syaibany, 1979). Secara rinci dikemukakan bahwa falsafat pendidikan merupakan usaha untuk mencari konsep-konsep di antara gejala yang bermacam-macam meliputi: (1) proses pendidikan sebagai rancangan yang terpadu dan menyeluruh; (2) menjeiaskan berbagai makna yang mendasar tentang segala istilah pendidikan; dan (3) pokok-pokok yang menjadi dasar dari konsep pendidikan dalam kaitannya dengan bidang kehidupan manusia (al-Syaibany, 1973).
Seperti diketahui bahwa pendidikan dalam arti yang luas adalah, usaha untuk mengubah dan memindahkan nilai kebudayaan kepada setiap individu dalam suatu masyarakat (Hasan Langgulung, 1985). Dan proses seperti itu telah dilakukan manusia dari abad ke abad, menempuh alur perjalanan sejarah yang panjang dan berliku-liku. Pemikiran yang menyangkut bagaimana menciptakan suatu sistem pendidikan yang baik dan sesuai dengan tujuan yang akan dicapai telah dilakukan oleh para ahli didik di berbagai tempat di dunia.
Usaha yang telah dilakukan tersebut tampaknya belum dapat memberikan suatu kemantapan bagi usaha mengubah dan memindahkan nilai-nilai kebudayaan seperti yang dikehendaki. Dengan perkataan lain, sistem pendidikan yang benar-benar mapan dan dapat diterima secara universal,berisi nilai-nilai falsafi yang serasi dengan fitrah manusia dan tatanan masyarakat, masih belum ditemui. Nyatanya, hingga sekarang masih bermunculan berbagai hasil pemikiran mengenai pendidikan itu.
Kondisi yang seperti itu mendorong para pemikir pendidikan untuk terus bekerja, mengejar dan menyesuaikan diri dengan perubahan dan tuntutan zaman. Tapi usaha tersebut tampaknya mengalami hambatan. Dengan munculnya ide-ide nasionalisme, pemikiran tentang pendidikan cenderung mengarah kepada kepentingan bangsa. Makanya tak mengherankan jika pemikiran tersebut secara tak disadari menjadi lebih mengacu kepada kepentingan bangsa, hingga sistem pendidikan sudah merupakan pantul-an dari falsafat hidup dari suatu bangsa. Falsafat pendidikan tak lain dari juru bicara dari semangat bangsa masing-masing (Hasan Langgulung, 1985).
Dalam konteks umum terlihat bahwa sistem pendidikan (Barat) yang berkembang dan dikembangkan hingga saat ini bersifat nasional (terbatas kepada kepentingan untuk mencapai tujuan pendidikan negara masing-masing). Dan masing-masing negara memiliki falsafat sebagai landasan sistem pendidikannya. Kecenderungan ini mengakibatkan hasil pemikiran mengenai pendidikan menjadi terkotak-kotak. Sistem pendidikan belum berhasil memenuhi kepentingan dan kebutuhan umat manusia secara menyeluruh, sesuai dengan hakikatnya sebagai makhluk yang diciptakan oleh Penciptanya.
Hubungan antara falsafat dan pendidikan tampaknya kian tak mungkin dapat dipisahkan. Beranjak dari hubungan ini, kajian falsafat pendidikan terpaksa menoleh kembali kepada hakikat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Pertanyaan yang mengarah kepada pemikiran falsafat pendidikan yang menurut Jacques Maritain, berawal dari: "siapa kita, di mana kita, dan ke mana kita akan pergi (apa yang menjadi tujuan hidup kita), dikaji dalam konteks tujuan penciptaannya (D.J. O'Connor, 1967). Pemikiran falsafi mulai menerobos garis pemisah antara rasio dan wahyu.
Ketiga pertanyaan yang sederhana itu dikaitkan dengan fungsi dan hakikat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Dengan demikian pemikiran tentang manusia diarahkan kepada pertanyaan: apakah fungsi manusia, dengan tujuan apa ia diciptakan, apakah alam semesta diciptakan dengan tujuan tertentu, dan apakah manusia sebagai bagian dari alam semesta diciptakan oleh Tuhan juga punya tujuan tertentu? Dan untuk mengetahui tujuan penciptaan manusia, tentunya melalui agama. Karena hanyaagama yang dapat memberikan penjelasan tentang tujuan dan makna eksistensinya, jelas Maritain (D.J. O'Connor, 1967). Adapun ungkapan "Makna hidup" atau "makna eksistensi" padadasarnya memiliki pengertian metaporis (kiasan). Makna hidup bukan berarti "apa arti kehidupan" saja. Lebih dalam "makna hidup" menginginkan maksud tentang tujuan atau yang dikehendaki dalam hal-hal yang termuat atau dikandung oleh dasar hidup yang diatur, ditentukan dan diperintahkan oleh yang menciptanya. Meskipun pertanyaan ini tidak memberi jawaban, tetapi ia mendorong kita untuk sampai kepada pemikiran, dan bukan hanya sekedar berhenti pada mempermasalahkan pertanyaan (D.J. O' Connor, 1967). Dan agaknya makna inilah pula yang mendo-rong para filosof mengarahkan pandangan mereka kepada konsep-konsep agama. Falsafat adalah cinta kebijaksanaan, tetapi kebijaksanaan yang sebenarnya adalah Tuhan. Oleh karena itu cinta Tuhan adalah falsafat yang sebenarnya, kata Roger Garaudy. Pendapatyang senada juga dikemukakan oleh Mansorlbn Sarjoun dan Saint Jean de Damas (Roger Garaudy, 1986).
Falsafat pendidikan Islam yang bersumber dari wahyu, mengarah kepada pemikiran tentang kebenaran yang bersifat hakiki dan mutlak. Kebenaran yang sesungguhnya, bukan kebenaran yang relatif dan spekulatif, tergantung kepada ruang dan waktu, seperti yang dihasilkan oleh pemikiran falsafat rasionalis dan empiris, Karena itu dalam pendidikan Islam sebenarnya kata "falsafat" itu sendiri tidak dikenal. Menurut Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibany, yang dimaksud dengan "kebenaran" seperti yang dikehendaki falsafat itu, dalam Islam disebut "hikmat" (al-Syaibany, 1973).
Kebenaran seperti yang dikemukakan falsafat (umum) lebih konotasi kepada kemampuan daya nalar manusia, adapun hikmat bersifat Ilahiyyat. Hikmat menurutnya, adalah anugerah Tuhan. I )an barangsiapa yang diberi hikmat, maka ia telah diberikan kebaikan yang banyak (Q.2:269), merupakan kenyataan yang tak dapat dibantah (al-Syaibany, 1973).
Selanjutnya dikemukakan, bahwa hikmat tidak tergantung dari tingkatan akademis yang diperoleh seseorang. Hikmat dapat saja dimiliki oleh mereka yang tidak memiliki latar belakang pendidikan akademis secara formal. Hikmat dapat dianugerahkan kepada mereka yang memiliki kematangan pandangan, pemikiran yang jauh, pengamatan yang mendalam. Makanya hikmat, menurut al-Syaibany mengandung lima unsur, yaitu :
(1) Universal;
(2) Pandangan yang luas;
(3) Cerdik;
(4) Pandangan meditatif (renungan); dan
(5) Mengetahui pelaksanaan pengetahuan yang disertai tindakan yang baik (al-syaibany, 1973).
Pengertian falsafat seperti yang dikemukakan oleh al-Syaibany tersebut, jika dikaitkan dengan falsafat pendidikan Islam, pada hakikatnya adalah:
(1) Pelaksanaan pandangan dan falsafat dan kaidah falsafat Islam yang diterapkan di bidang pendidikan.
(2) Aktivitas pemikiran yang teratur, selaras dan terpadu dalam upaya menjelaskan nilai-nilai dan tujuan yang hendak dicapai, bersumber dari anugerah Tuhan.
Falsafat pendidikan Islam, seperti halnya falsafat pendidikan umum, juga harus mampu membuat suatu pedoman kepada perancang-perancang dan orang-orang yang bekerja dalam bidang pendidikan dan pengajaran (al-Syaibany, 1973). Dalam rinciannya, falsafat pendidikan Islam setidak-tidaknya harus mampu memberi manfaat bagi pendidikan Islam berupa :
(1) Membantu para perancang dan pelaksana pendidikan dalam membentuk pemikiran yang benar terhadap proses pendidikan.
(2) Memberi dasar bagi pengkajian pendidikan secara umum dan khusus.
(3) Menjadi dasar penilaian pendidikan secara menyeluruh.
(4) Memberi sandaran intelektual, bimbingan bagi pelaksana pendidikan untuk menghadapi tantangan yang muncul dalam bidang pendidikan, sebagai jawaban dari setiap permasalahan yang timbul dalam bidang pendidikan.
(5) Memberikan pendalaman pemikiran ten tang pendidikan dalam hubungannya dengan faktor-faktor spiritual, kebudayaan, sosial, ekonomi, politik dan berbagai aspek kehidupan lain-nya (al-Syaibany, 1973).
Kerangka pemikiran falsafat di atas memuat konsep tentang pendidikan. Di dalamnya termuat dasar dan tujuan pendidikan (1 dan 5), materi kurikulum (2,4, dan 5), metode yang digunakan (2) serta sistem evaluasi (3) dan juga hal-hal yang berkaitan dengan kelembagaan dan pelaksanaan pendidikan.
2. Dasar Dan Tujuan Falsafat Pendidikan Islam
Secara umum pendidikan mencakup suatu pengertian yang luas. Secara garis besarnya pengertian itu mencakup tiga aspek berupa:
a) Seperangkat teknik atau cara untuk memberikan pengetahuan, keterampilan dan tingkah laku.
b) Seperangkat teori yang maksudnya untuk menjelaskan dan membenarkan penggunaan teknik dan cara-cara tersebut.
c) Seperangkat nilai, gagasan atau cita-cita sebagai tujuan yang dijelmakan serta dinyatakan dalam pengetahuan, keterampilan dan tingkah laku, termasuk jumlah dan pola latihan yang harus diberikan (D.J. O'Connor, 1957).
Berangkat dari pemahaman tersebut, terlihat bahwa falsafat pendidikan Islam berupaya menyusun seperangkat nilai sebagai dasar berpijak dan tujuan yang akan dicapai secara jelas. Tanpa dasar sebagai landasan bagi pemikiran bagi falsafat pendidikan Islam, dikhawatirkan bangunan pemikiran yang dihasilkan tidak akan kokoh. Akibatnya akan menimbulkan kemungkinan bagi masuknya pemikiran-pemikiran falsafat yang bukan Islam.
Sebaliknya, tujuan yang jelas menjadi penting dalam pemikiran falsafat pendidikan Islam karena falsafat pendidikan Islam merupakan rancangan dari sistem perubahan Islam itu sendiri. Dengan adanya tujuan yang jelas dalam bentuk nilai-nilai kebenaran yang harus dicapai, maka dalam penyusunan suatu sistem pendidikan Islam yang sesuai dengan tujuan yang akan dicapai, akan menjadi jelas pula.
Dasar dan tujuan falsafat pendidikan Islam pada hakikatnya identik dengan dasar dan tujuan ajaran Islam atau tepatnya, tujuan Islam itu sendiri. Keduanya berasal dari sumber yang sama, yaitu al-Quran dan hadits. Dari kedua sumber ini kemudian timbul pemikiran-pemikiran mengenai masalah-masalah keislaman dalam berbagai aspek, termasuk falsafat pendidikan. Dengan demi-kian hasil pemikiran para ulama seperti qiyas syar'i dan ijma' sebagai sumber sekunder (al-Syaibany, 1973), pada dasarnya berasal dari kedua sumber pokok tadi (al-Quran dan hadits).
Ajaran yang termuat dalam wahyu merupakan dasar dari pemikiran falsafat pendidikan Islam. Hal ini menunjukkan falsafat pendidikan Islam yang berisi teori umum mengenai pendidikan Islam, dibina atas dasar konsep ajaran Islam yang termuat dalam al-Quran dan hadits. Keabsahan kedua sumber ajaran itu untuk dijadikan dasar pemikiran falsafat pendidikan Islam bukan tanpa alasan yang rasional. Pemikiran falsafat pendidikan Islam yang didasarkan atas ajaran wahyu tersebut pada hakikatnya sejalan dengan yang dikehendaki oleh berpikir falsafi, yakni mendasar, menyeluruh tentang kebenaran yang ditawarkannya.
Secara garis besarnya, yang menjadi dasar kajian falsafat pendidikan Islam seperti yang termuat dalam kandungan wahyu, adalah mengenai Pencipta (Allah), ciptaan-Nya (makhluk), hubungan antara ciptaan dengan Pencipta, serta hubungan antara sesama ciptaan-Nya, dan utusan yang menyampaikan risalah Pencipta (Rasul).
Dasar yang melandasi pemikiran falsafat tentang Pencipta mengacu kepada suatu konsep falsafat pendidikan bahwa segala sesuatu yang ada ini terwujud melalui ciptaan (creatio ex-nihilo) bukan terwujud dengan sendirinya. Karena itu segala bentuk ciptaan-Nya hidup dan menjalani tatanan kehidupan yang sudah diciptakan untuk itu. Tatanan sebagai konsep umum mengenai pengaturan alam, berdasarkan pemikiran tersebut adalah merupakan ketentuan Pencipta-Nya (Sunnat Allah), dan bukan ketentuan yang dipandang sebagai hukum alam (Nature's Law) semata.
Selanjutnya konsep tersebut memberi pemahaman bahwa sebagai ciptaan, makhluk bagaimanapun harus tunduk kepada yang Menciptakan. Sikap tunduk itu khusus bagi manusia diatur dalam konsep ibadah, sedangkan hubungan sosial antar sesama manusia diatur dalam konsep muamalah. Adapun konsep tersebut disampaikan kepada manusia melalui utusan Yang Maha Pencipta, yaitu para Rasul.
Konsep tentang Tuhan sebagai Pencipta, eksistensi, kekuasaan yang dimiliki serta masalah-masalah yang berhubungan dengan keberadaan-Nya, paling banyak termuat dalam al-Quran, sebagai wuhyu Allah. Dasar pemikiran yang muncul dalam melandasi pembinaan falsafat pendidikan Islam, adalah bahwa keberadaan Tuhan (Allah) sebagai Pencipta melahirkan konsep tentang kepatuhan sebagai bentuk hubungan yang dinilai benar. Hanya sikap patuh makhluk (ciptaan) kepada aturan yang dibuat Pencipta ini saja memiliki nilai tertinggi dalam kriteria "kebenaran". Sikap tersebut merupakan konsep tentang hubungan ciptaan dengan Pencipta, yakni sikap pengabdian diri.
Adanya ketentuan-ketentuan dasar wahyu yang dijadikan landasan pemikiran falsafat pendidikan Islam, ikut mempengaruhi dasar pandangan falsafat pendidikan Islam itu sendiri sehingga falsafat pendidikan Islam berbeda dari falsafat pendidikan lainnya (umum). Falsafat pendidikan Islam dalam kaitannya dengan pendidikan didasari oleh lima prinsip utama yaitu pandangan terhadap alam, pandangan terhadap manusia, pandangan terhadap masyarakat, pandangan terhadap pengetahuan manusia, dan pandangan terhadap akhlak (Hasan Langgulung, 1987).
Falsafat pendidikan memberi landasan dasar yang bersumber pada wahyu, sebagai nilai kebenaran yang tertinggi. Dengan demikian falsafat pendidikan Islam tergolong falsafat perenialis.
Adapun tujuan dari falsafat pendidikan Islam, sebagai yang dikemukakan di atas, adalah sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai oleh Islam itu sendiri, yaitu mencapai tingkat pengabdian yang paling tinggi. Konsep ini didasarkan kepada ajaran wahyu, yang secara hakiki disebut sebagai pengabdi yang setia kepada Penciptanya. Tujuan ini sejalan dengan tujuan penciptaan manusia (Q.51 : 56).
Sejalan dengan tujuan tersebut, maka falsafat pendidikan Islam berupaya menyiapkan kerangka dasar bagi tercapainya tujuan dimaksud melalui proses pendidikan. Dengan demikian dalam pelaksanaannya pendidikan Islam dituntut untuk menyelaraskan kegiatannya dengan tujuan itu. Langkah pertama paling tidak mempersiapkan konsep yang jelas mengenai pendidikan itu sendiri. Dan menurut Sayyed Naguib al-Attas, konsep yang tepat untuk memenuhi tujuan itu adalah ta'dib dan bukan tarbiyah, atau ta'lim.
Konsep tarbiyah mengandung pengertian yang terlalu umum. Pengertian itu meliputi upaya untuk memelihara, membela, menernak (binatang) dan tidak terbatas pada manusia semata. Oleh karena itu konsep tarbiyah memuat pengertian yang terlalu luas. Sebaliknya ta’lim terlalu sempit, karena hanya berhubungan dengan pengajaran.
Adapun ta'dib sudah mencakup pengertian tarbiyah dan ta'lim, namun khusus untuk pendidikan pada manusia. Selain itu ta'dib erat kaitannya dengan ajaran Islam yang menjadi isi pendidikan (S.M.N. al-Attas, 1989). Menempatkan tarbiyah dalam konsep pendidikan Islam menurut al-Attas adalah kurang tepat, dan penggunaan istilah itu dipengaruhi oleh kebutuhan untuk menyesuaikan makna pendidikan dengan konsep education (Barat). Dan pengaruh-pengaruh seperti itu menjalar dalam berbagai pengertian pendidikan, hingga pendidikan Islam akan kian menjauh dari semula.
Sebagai pembentuk teori umum mengenai sistem pendidikan, maka falsafat pendidikan Islam sangat penting. Falsafat pendidikan Islam berfungsi sebagai peletak dasar bagi kerangka (blue print) dari sistem pendidikan yang akan berfungsi sebagai cara untuk mengaplikasikan ajaran Islam dibidang pendidikan, dengan tujuan yang identik dengan tujuan yang akan dicapai oleh ajaran Islam itu sendiri.
Sebaliknya, jika pendidikan merupakan proses pelaksanaan pencapai tujuan itu, maka falsafat pendidikan Islam merupakan pedoman dari sistem yang harus ditelusuri oleh proses pelaksanaan itu sendiri. Falsafat pendidikan Islam dengan demikian berperan sebagai pembentuk nilai-nilai bagi pendidikan Islam.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka falsafat pendidikan islam berusaha meletakkan dasar pemikirannya pada tujuan yang memuat konsep tentang akhlak yang mulia, identik dengan konsep dari tugas kenabian yang diemban oleh Rasul, yaitu diutus untuk membina akhlak yang mulia (hadits).
Dua sasaran pokok yang juga termuat dalam tujuan falsafat pendidikan Islam adalah meletakkan dasar pemikiran sistem pendidikan yang berdimensi ganda. Dimensi pertama adalah untuk mencapai kesejahteraan hidup di dunia dan keselamatan hidup di ikhirat. Dimensi kedua berhubungan dengan fitrah kejadian manusia, yaitu sebagai pengabdi Allah yang setia.
Dimensi pertama berkaitan dengan tujuan pembentukan yang berdasarkan ruang dan waktu, maka dimensi kedua berdasarkan pada obyek pembentukan itu sendiri, yaitu manusia. Sesuai dengan hakikatnya, maka manusia harus dibimbing semaksimal mungkin, agar potensi yang diberikan kepadanya berupa jasmani, akal dan roh selaras dengan hakikat tersebut.
B. METODE MEMPELAJARI FALSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
Sebagaimana yang telah dikemukakan dalam uraian diatas, bahwa sumber yang menjadi dasar kajian falsafat pendidikan Islam, adalah al-Quran dan hadits. Kedua sumber ini menjadi landasan utama bagi pemikiran falsafat pendidikan Islam. Adapun sumber lainnya terdiri atas ijma' dan qiyas syar'i sebagai surnber sekunder.
Sehubungan dengan hal itu, maka pada garis besarnya ada dua metode pokok dalam mempelajari falsafat pendidikan Islam, yakni: (1) pendekatan terhadap wahyu; dan (2) pendekatan sejarah.
1. Metode Pendekatan Terhadap Wahyu
Sebagai wahyu al-Quran berisi ayat-ayat yang mendorong manusia agar menggunakan akalnya untuk mencari kebenaran. Dan yang jelas al-Quran memakai akal dalam bentuk kata kerja bukan kata benda. Kenyataan ini menunjukkan bukti bahwa al-Quran lebih menganjurkan manusia untuk berpikir, menggunakan akal (Lihat Q. 16:11, 67 dan 69).
Untuk apa manusia dianjurkan untuk menggunakan akalnya? Salah satu di antaranya, agar manusia ingat dan percaya kepada Allah (Q. 33:41 dan Q. 15:77). Selain itu juga agar manusia memperoleh pemahaman (Q.8:98) tentang kebenaran yang dimaksudkan oleh Allah SWT. sebagai Pencipta. Manusia disuruh menggunakan akal dan inderanya agar manusia tidak salah untuk memahami mana kebenaran yang sesungguhnya, dan mana kebenaran yang dibenarkan, atau yang dianggap benar.
Kebenaran yang sesungguhnya adalah kebenaran yang menunjukkan adanya hubungan ide dengan fakta, dan bukan kebenaran antara hubungan ide dengan ide. Kebenaran yang pertama ini menyangkut pemahaman dengan menggunakan pikiran terhadap yang terkandung dalam isi susunan kata, dalam batas dapat diterima orang. Seperti misalnya kebenaran tentang adanya Tuhan, Allah sebagai Pencipta dan wujud dari Zat yang diyakini sebagai Tuhan itu sendiri. Kebenaran seperti ini, atau kebenaran tentang wujud yang obyektif, hanya mungkin dipelajari secara khusus. Dalam falsafat, aliran yang khusus menekuni hal itu adalah aliran falsafat Theistic realism. Dan sebagai manusia kita tidak akan dapat mencapai kebenaran secara sempurna, akan tetapi kita akan bahagia sekali untuk hanya dapat mendekati kepada kebenaran yang uiiipuhnya (H.M. Rasjidi, 1965).
Adupun kebenaran yang menjadi telaah falsafat pendidikan Islam, pada dasarnya adalah untuk mendekati pemahaman mengenai kebenaran yang sesungguhnya dari sumber kebenaran itu sendiri (Allah) melalui tanda-tanda (ayat) yang diciptakanNya. hubungan dengan hal itu, maka dalam mempelajari falsafat pendikan Islam, pendekatan terhadap wahyu akan dapat membantu.
Menurut Toshihiko Izutsu ada dua ragam tanda (ayat) Tuhan yang perlu diketahui manusia, yaitu : (1) ayat-ayat yang bercorak verbal (Iinguistik), menggunakan bahasa manusia; dan (2) tanda-tanda yang bercorak non-verbal, berupa gejala-gejala alami. Tanda-tanda (ayat-ayat) yang pertama dikenal sebagai wahyu Ilahi (al-Qur’an) dan yang kedua disebut sebagai Sunnatullah. Maka sebagian ayat-ayat yang sama-sama berasal dari sumber yang sama, baik al-Qur’an maupun Sunnatullah, tak terpisahkan, karena keduanya sama-sama mengandung kebenaran dari Tuhan (Toshihiko Izutsu, 1964).
Upaya untuk memahami kebenaran dengan menggunakan ayat-ayat Tuhan sebagai premis, terlihat lebih memungkinkan. Sejumlah penjelasan al-Quran telah mengetengahkan anjuran itu. Kami (Allah) akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (ayat-ayat) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Quran itu adalah benar. (QS, 41:53). Al-Quran sebagai bagian dari ayat-ayat Allah yang sudah tersusun rapi dan rinci (QS.11:1) dan juga tidak dijumpai adanya cacat cela dalam ciptaan-Nya, yang menjadi bagian dari ayat-ayat dalam bentuk gejala alam atau Sunnatullah (QS.67:4).
Dengan menggunakan pendekatan terhadap wahyu ini dimaksudkan adalah cara-cara yang ditempuh dalam upaya memahami kebenaran dengan menggunakan ayat-ayat Tuhan sebagai premis. Kebenaran dicari dengan cara merenungkan, menggali, menafsirkan, memperbandingkan, menghubungkan serta mentakwilkan informasi yang terkandung dalam wahyu. Dari kajian itu kemudian disusun konsep pemikiran dasar tentang pendidikan Islam.
Pernyataan wahyu : Dan Dialah yang menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian mengembalikan (menghidupkan)nya kembali, dan menghidupkannya kembali itu adalah lebih mudah (Q.30:27), dapat dijadikan renungan tentang perjalanan kehidupan manusia. Siapakah manusia itu? Dari mana asalnya? la ada dengan sendiri, atau diciptakan? Kemana manusia itu sesudah mati?
Pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam pemikiran seperti itu mungkin dijawab melalui perenungan, membandingkan dengan diri, dengan kehidupan manusia yang ada sebagai ayat-ayat Tuhan. Hasil pemikiran tersebut kemudian disusun menjadi konsep pemikiran yang bersifat filosofis. Dari sini setidak-tidaknya akan muncul konsep pemikiran yang berkaitan dengan manusia, kebe-naran mengenai siapa manusia itu.
Selanjutnya dengan merenungkan pernyataan Allah; Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (tetapkanlah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurutfitrah itu (Q.30:30), mungkin akan menghasilkan konsep pemikiran yang akan membantu memberi jawaban atas pertanyaan: Apakah manusia itu memerlukan agama atau tidak? Apakah agama itu sendiri ciptaan manusia, ataukah merupakan kodrat hidup manusia? Dari sini dapat dilanjutkan ke pemikiran yang berkaitan dengan konsep pendidikan. Kalau demikian, bagaimana kurikulum pendidikan yang sesuai dengan fitrah kejadian manusia? Perlukah dalam materi kurikulum dimasukkan pendidikan agama? Kalau perlu bagaimana pelaksanaannya? Bagaimana bentuk institusi pendidikan yang sesuai? Alat-alat apa yang perlu disiapkan untuk pelaksanaannya? Dan sejumlah pertanyaan-pertanyaan lain yang berkaitan dengan pendidikan. Jawaban yang diperoleh, disusun menjadi konsep yang berisi rancangan sistem pendidikan yang dinilai cocokuntuk memenuhi pemahaman tentang nilai-nilai kebenaran, berdasarkan hasil pemahaman terhadap wahyu.
Metode ini dengan sendirinya berbeda dari metode dialektik digunakan oleh Socrates yang dijadikannya sebagai metode ilusai untuk pemikiran falsafatnya. Metode dialektik bertitik tolak dari sikap ragu terhadap kebenaran, dan berusaha mencari kebenaran baru sebagai alternatif (Titus, Nolan dan Smith, 1984). Ailapiin metode pendekatan terhadap wahyu, adalah sebaliknya, yaitu bertitik tolak dari keyakinan terhadap kebenaran wahyu itu sendiri. Yang dicari bukan kebenaran baru sebagai alternatif, melainkan pemahaman terhadap kebenaran mutlak yang terkandung dalam wahyu tersebut. Dengan menggunakan kemampuan berpikir, manusia diajak untuk mencari kebenaran yang diperkirakan dapat mendekati kebenaran yang mutlak tersebut. Di sini terlihat bahwa walaupun pemikiran falsafat pendidikan Islam berdasarkan wahyu, tidak berarti meniadakan proses berpikir. Kebenaran yang diperoleh bukan kebenaran yang dianugerahkan begitu saja, melainkan kebenaran yang dicari (acquired truth).
Adapun keyakinan terhadap kebenaran wahyu, dalam upaya mencari kebenaran, dalam proses ini dijadikan sebagai pembanding dan premis untuk menemukan kebenaran yang dinilai sebagai kebenaran yang mendekati kebenaran wahyu sebagai kebenaran mutlak. Dengan demikian kebenaran yang dicari adalah kebenaran dalam batas-batas kemampuan akal manusia, namun Walaupun tidak mencapai tingkat kebenaran mutlak tetap sejalan dengan kebenaran mutlak wahyu.
2. Metode Pendekatan Sejarah
Metode ini digunakan untuk mengkaji hasil pemikiran ulama (cendekiawan) Islam di masa silam. Melalui pendekatan sejarah diharapkan dapat diketahui bagaimana konsep-konsep pendidikan Islam dari zaman silam, perkembangan pemikiran, faktor-faktor, yang mempengaruhi perubahan, serta latar belakang yang mendorong lahirnya konsep-konsep tentang rancangan pendidikan Islam.
Kajian ini dimaksudkan untuk mencari persamaan, perbedaan atau temuan-temuan dalam konsep-konsep yang dihasilkan oleh pemikir pendidikan tersebut masing-masing. Dengan mengadakan kajian terhadap karya-karya dimaksud, setidak-tidaknya akan diperoleh manfaat, antara lain: pertama, bagaimana perkembangan pemikiran (falsafat) pendidikan Islam dari zaman ke zaman; kedua, memahami konsep dan hasil karya para pemikir (filosof) pendidikan Islam; dan ketiga, dapat melanjutkan rangkaian pemikiran yang masih relevan, sambil melakukan revisi pada hal-hal yang perlu disesuaikan dengan tuntutan dan perkembangan zaman.
Bagaimanapun peradaban suatu bangsa akan banyak bergantung kepada jumlah pemikir yang dimilikinya. Dan kelanggengan peradaban itu ditentukan pula oleh jumlah generasi pelanjut yang akan meneruskan karya pendahulu mereka. Perkembangan peradaban yang mengakar ke masa silam, dinilai akan memperkokoh landasan dasar berpijak bagi pengembangan selanjutnya.
Peradaban Barat yang sekarang dikenal sebagai peradaban abad teknologi dianggap sebagai kelanjutan dari peradaban Yunani kuno itu, sebenarnya tidak terlepas dari sejumlah peradaban perantara, yang menjadi pengantar antara peradaban Yunani kuno ke Barat modern. Peradaban yang merupakan rangkaian sejumlah peradaban itu ternyata saling tergantung antara satu sama lain.
Peradaban Yunani kuno tak mungkin langsung menjadi peradaban Barat modern tanpa melalui rangkaian sejumlah peradaban lain seperti peradaban Tiongkok, India dan Islam (klasik). Dan perpindahan ke peradaban baru yang mampu mendominasi peradaban lainnya, tidak muncul secara mendadak, melainkan melalui proses yang lama dan panjang. Dan yang penting peradaban baru harus mengakar ke peradaban lama. Jepang menjadi negara modern, tak terlepas dari akar budaya kunonya, yaitu tradisi Shinto. Sebaliknya usaha modernisasi Turki yang menjiplak peradaban Barat modern, ternyata gagal.
Dalam hubungannya dengan falsafat pendidikan Islam, maka kajian terhadap karya-karya klasik para filosof pendidikan Islam adalah merupakan bagian yang sudah mendesak. Pemikiran-pemikiran filosofis tentang pendidikan, bagaimanapun (seharusnya) ta layak dilepaskan dari ikatan pemikiran Islam klasik.
Para pemikir pendidikan Islam zaman klasik seperti Ibn Miskawih, al-Jahiz, Al-Ghazali dan Iain-lain. Misalnya salah satu pendapat Al-Ghazali dalam tulisannya menyatakan bahwa agar materi pelajaran yang diberikan kepada anak didik disesuaikan dengan kemampuan tingkat pemahamannya, agar anak jangan salah memahaminya. Materi yang terlalu tinggi akan menyebabkan anak menghindar atau merusak akalnya (Fathiyah Hasan lulttimnn, 1956). Syeikh Abd al-Basith Musa al-'Almawy (w.981 H ) dengan nada yang sama menyatakan pula "jika murid melakukan sesuatu (dibebankan materi pelajaran) diluar kemampuannya, dikhawatirkan akan menimbulkan kebosanan dan sebaiknya beban yang terlampau berat dihindarkan. Dan janganlah guru menyuruh muridnya mempelajari sesuatu yang tidak sesuai dengan kemampuan akalnya dan tingkat usianya" (Abd Basith Musa al-'Almawy dalam Fathiyah, 1956).
Pemahaman konsep berdasarkan pendekatan sejarah secara keliru, akan mempengaruhi pendidikan Islam itu sendiri. Antara lain seperti dikemukakan oleh Muhammad Munir Mursi mengenai premis "manusia adalah hewan yang berakal" yang sering termuat dalam mantiq. Premis tersebut menurutnya bukan berasal dari konsep ajaran Islam, tetapi dari pengaruh pemikiran Yunani. Menurut konsep Islam, dari aspek mana pun, manusia tak mungkin disamakan dengan hewan. Manusia adalah makhluk ciptaan Allah dan yang paling sempurna dari makhluk lainnya yang juga ciptaan Allah. Karena itu menyamakan manusia dengan hewan, tidak sejalan dengan konsep ajaran Islam (Muhammad Munir Mursi, 1989).
Kajian terhadap konsep pemikiran ahli didik Islam di zaman klasik diperkirakan akan membantu menemukan hasil pemikiran pendidikan yang murni dan sesuai dengan ajaran Islam. Disinilah letak pentingnya metode pendekatan sejarah dalam kajian falsafat pendidikan Islam.
C. MANUSIA MENURUT FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
Pemikiran filsafat mencakup ruang lingkup yang berskala makro yaitu: kosmologi, antologi, philosophy of mind, epistemologi dan aksi-ologi (M. Arifin, 1993 : 6). Untuk melihat bagaimana sesungguhnya manusia dalam pandangan filsafat pendidikan Islam, maka telaah secara makro ini perlu diketahui. Setidaknya karena manusia merupakan bagian dari alam semesta (kosmos). Dengan demikian manusia tidak dapat melepaskan diri dari lingkungan kehidupan alam semesta.
Seperti halnya alam semesta, maka dalam konsep filsafat pendidikan Islam, manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan. Hakikat penciptaannya adalah agar manusia menjadi pengabdi Penciptanya (ontologi). Agar dapat menempatkan dirinya sebagai pengabdi yang setia, maka manusia dianugerah berbagai potensi baik potensi jasmani, rohani dan ruh (philosophy of mind).
Pertumbuhan dan perkembangan manusia berjalan secara evolusi (berjenjang dan bertahap). Melalui penjenjangan dan pertahapan tersebut, manusia mengisi dirinya dengan pengalaman dan pengetahuan. Dengan demikian manusia memperoleh pengetahuan secara berproses, berasal dari pengembangan potensi dirinya, pengalaman dengan lingkungannya serta dari Tuhan (epistemologi). Karena itu hubungan antara lingkungan, manusia dengan Khaliq (Pencipta) maupun antar sesama makhluk (ciptaari), tak dapat dipisahkan.
Manusia sebagai makhluk ciptaan, dilengkapi dengan potensi agar dengan potensi itu ia dapat mengembangkan dirinya. Namun dalam usaha meningkatkan kualitas sumber daya insaninya itu, manusia diikat-kan oleh nilai-nilai yang telah ditentukan oleh Penciptanya (aksiologi). Dengan demikian manusia dalam pandangan filsafat pendidikan Islam adalah sebagai makhluk alternatif (dapat memilih), tetapi kepadanya ditawarkan pilihan nilai yang terbaik, yaitu nilai Ilahiyat. Di satu sisi ia memiliki kebebasan untuk memilih arah, di lain pihak manusia diberi pedoman ke mana arah yang terbaik yang semestinya ia tuju. Manusia dapat dikategorikan sebagai makhluk bebas (alternatif) dan sekaligus terikat (tidak bebas nilai).
1. Manusia dan Potensinya
Manusia adalah makhluk Allah yang paling potensial. Berbagai ke-lengkapan yang dimilikinya memberi kemungkinan bagi manusia untuk meningkatkan kualitas sumber daya dirinya. Secara biologis manusia bertumbuh dari makhluk yang lemah secara fisik (janin dan bayi), menjadi remaja, dewasa dan kemudian menurun kembali kekuatannya, dan setelah itu pertumbuhan manusia berakhir pada kematian.
Di luar itu manusia juga memiliki potensi mental yang memberi peluang baginya untuk meningkatkan kualitas sumber daya insaninya. Lebih dari itu manusia memiliki pula kemampuan untuk menghayati berbagai masalah yang bersifat abstrak seperti simbol-simbol, ucapan dan ungkapan hingga kepada pengenalan terhadap Penciptanya. Potensi tersebut seluruhnya dinilai sebagai pengarahan dari Penciptanya agar manusia mampu menjalani perannya sebagai pengabdi Allah, dalam pola dan perilaku yang benar.
Secara garis besarnya potensi tersebut terdiri atas empat potensi utama yang secara fitrah sudah dianugerahkan Allah kepadanya; yaitu:
a. Hidayat al-Gharizziyat (potensi naluriah)
Dorongan ini merupakan dorongan primer yang berfungsi untuk memelihara keutuhan dan kelanjutan hidup manusia. Di antara dorongan tersebut adalah berupa instink untuk memelihara diri, seperti makan, minum, penyesuaian tubuh terhadap lingkungan dan sebagainya. Dorongan ini berguna bagi manusia agar eksistensinya terjaga supaya tetap hidup.
Kemudian dorongan yang kedua, yaitu dorongan untuk mempertahankan diri. Bentuk dorongan ini dapat berupa nafsu marah, bertahan atau menghindar dari gangguan yang mengancam dirinya, baik oleh sesama makhluk maupun oleh lingkungan alam. Dorongan mempertahankan diri berfungsi untuk memelihara manusia dari ancaman dari luar dirinya. Realisasinya berupa karya busana, senjata, tempat tinggal dan sebagainya.
Adapun dorongan yang ketiga, berupa dorongan untuk mengembangkan jenis. Dorongan ini berupa naluri seksual. Manusia pada tahap pencapaian kematangan fisik (dewasa) menjadi tertarik terhadap lawan jenisnya. Dengan adanya dorongan ini manusia dapat mengembangkan jenisnya dari satu generasi ke generasi sebagai pelanjut kehidupan.
Ketiga macam dorongan tersebut melekat pada diri manusia secara fitrah. Diperoleh tanpa harus melalui proses belajar. Karena itu dorongan ini disebut sebagai dorongan naluriah atau dorongan instinktif. Dorongan yang siap pakai, sesuai dengan kebutuhan dan kematangan perkembangannya.
b. Hidayat al-Hassiyat (potensi inderawi)
Potensi inderawi erat kaitannya dengan peluang manusia untuk me-ngenal sesuatu di luar dirinya. Melalui alat indera yang dimilikinya, manusia dapat mengenal suara, cahaya, warna, rasa, bau dan aroma maupun bentuk sesuatu. Jadi indera berfungsi sebagai media yang menghubungkan manusia dengan dunia di luar dirinya.
Potensi inderawi yang umum dikenal terdiri atas indera penglihat, pencium, peraba, pendengar dan perasa. Namun di luar itu masih ada sejumlah alat indera dalam tubuh manusia seperti antara lain indera keseimbangan dan taktil. Potensi tersebut difungsikan melalui pemanfaatan alat indera yang sudah siap pakai seperti mata, telinga, hidung, lidah, kulit dan otak maupun fungsi syaraf.
c. Hidayat al-Aqliyyat (potensi akal)
Jika hidayat al-qhariziyyat dan hidayat al-hissiyat dimiliki oleh setiap makhluk hidup baik manusia maupun hewan, maka hidayat al-aqliyat hanya dianugerahkan Allah kepada manusia. Adanya potensi ini menyebabkan manusia dapat meningkatkan dirinya melebihi makhluk-makhluk lain ciptaan Allah.
Potensi akal memberi kemampuan kepada manusia untuk memahami simbol-simbol, hal-hal yang abstrak, menganalisa, membandingkan maupun membuat kesimpulan dan akhirnya memilih maupun memisahkan antara yang benar dari yang salah. Kemampuan akal mendorong manusia berkreasi dan berinovasi dalam menciptakan kebudayaan serta peradaban. Manusia dengan kemampuan akalnya mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, mengubah serta merekayasa lingkungannya, menuju situasi kehidupan yang lebih baik, aman dan nyaman.
d. Hidayat al-Diniyyat (potensi keagamaan)
Pada diri manusia sudah ada potensi keagamaan, yaitu berupa dorongan untuk mengabdi kepada sesuatu yang dianggapnya memiliki kekuasaan yang lebih tinggi. Dalam pandangan antropolog, dorongan ini dimanifestasikan dalam bentuk percaya terhadap kekuasaan supernatural (believe in supernatural being). Di lingkungan kehidupan primitif misalnya ditemui upacara-upacara sakral dalam bentuk penyembahan leluhur (totemisme), maupun benda-benda alam yang lainnya.
Dorongan untuk mengabdi ini teramu dari berbagai macam unsur emosi seperti perasaan kagum, perasaan ingin dilindungi, perasaan tak berdaya, perasaan takut, perasaan bersalah dan Iain-lain. Gejala-gejala emosional ini mendorong manusia untuk memuja sesuatu yang dinilainya dapat menetralisasi perasaan-perasaan tersebut. Pada masyarakat primitif fenomena ini ditampilkan dalam bentuk pemujaan pada benda-benda alam yang bersifat konkret sebaliknya pada masyarakat maju, terkadang terjadi pergeseran ke hal-hal yang lebih abstrak.
Dalam kasus-kasus seperti itu terlihat bahwa bagaimanapun sederhananya peradaban manusia, dorongan untuk mengabdi dan tunduk kepada sesuatu yang dianggap adi kuasa tetap ada. Dalam pandangan filsafat pendidikan Islam dorongan tersebut merupakan fitrah manusia (QS. 30:30). Dorongan ini adalah bagian dari faktor intern (bawaan sejak lahir) sebagai anugerah Allah.
Dorongan ini menggambarkan bahwa pada diri manusia memang sudah ada rasa keberagamaan dalam bentuk kecenderungan untuk menundukkan diri kepada sesuatu yang dikagumi, disamping jenis perasaan lain yang ada. Dalam berbagai kajian tentang psikologi agama, antropologi agama maupun sosiologi agama, terlihat bahwa dalam kehidupannya manusia memang tak dapat dipisahkan dari agama. Ada semacam kecenderungan untuk beragama pada manusia baik secara individu maupun kelompok.
Kajian psikologi agama mengidentifikasikan bahwa pada diri manusia, terdapat rasa penyesalan dan rasa bersalah (sense of guilt). Kemudian temuan antropologi baik budaya maupun antropologi fisik, menunjukkan baik di lingkungan masyarakat asli (primitif), maupun modern dijumpai adanya upacara-upacara ritual dan benda-benda yang dianggap suci. Sedangkan sosiologi agama mengetengahkan temuan tentang nilai-nilai suci dalam tatanan kehidupan sosial di masyarakat.
Keempat potensi ini terangkum pada potensi dasar manusia, yaitu: jasmani, akal nafs dan ruh. Hidayat al-gharizziyat dan hissiyat terdapat dalam diri manusia sebagai makhluk biologis (basyr dan nafs). Sedangkan hidayat al aqliyah (aqal), dan hidayat al-diniyyah termuat dalam ruh (bukan roh). Potensi yang bersifat fitrah ini tampaknya memang menandai karakteristik dasar kehidupan manusia pada umumnya.
2. Pengembangan Potensi Manusia
Potensi dapat diibaratkan lembaga pada tumbuh-tumbuhan. Wujudnya baru akan tampak nyata apabila dipelihara, dirawat, dijaga, dibimbing serta dikembangkan atau bakat yang dimiliki setiap manusia. Kodratnya memang manusia dianugerah oleh Penciptanya berupa kemampuan potensial dasar.
Demikian halnya dengan potensi yang dimiliki manusia. Potensi naluriah, inderawi, akal maupun rasa keberagamaan pada bentuk asalnya baru berupa dorongan-dorongan dasar yang bekerja secara alami. Oleh karena itu potensi tersebut baru akan dapat mencapai tujuan yang sebenarnya apabila dijaga, dipelihara, dibimbing dan dikembangkan secara terarah, bertahap dan berkesinambungan. Pengembangan potensi manusia dapat dilakukan dengan beragam cara dan ditinjau dari berbagai pendekatan.
Dengan menggunakan pendekatan yang beragam itu diharapkan pernahaman mengenai manusia akan lebih mendalam. Melalui pemahaman yang seperti itu, maka pengenalan terhadap manusia akan lebih mengena. Lebih-lebih bila pendekatan yang digunakan bersumber dari konsep ajaran wahyu, sebagai informasi yang mengandung kebenaran yang hakiki tentang manusia. Sebab dalam pandangan filsafat pendidikan Islam, manusia adalah makhluk ciptaan Allah SWT.
a. Pendekatan Filosofis
Pendekatan ini digunakan dalam konteks pandangan filsafat yang mengacu kepada hakikat penciptaan manusia itu sendiri. Dijelaskan oleh Penciptanya bahwa manusia selaku makhluk ciptaan Allah yang setia (QS.51:56). Dengan demikian, dalam tinjauan filosofis al-Quran, manusia merupakan makhluk ciptaan yang diprogramkan untuk mengabdi kepada Penciptanya.
Dalam hubungan dengan hakikat penciptaannya, maka keberadaan (eksistensi) manusia baru akan bermakna apabila pola hidupnya disesuaikan dengan rancang bangun (blue print) yang sudah ditetapkan oleh Sang Khaliq. Ada pedoman dasar yang harus diikuti dalam pengembangan potensi manusia agar sejalan dengan kehendak Penciptanya. Dengan demikian pengembangan potensi manusia, apapun bentuknya harus diarahkan bagi terwujudnya nilai-nilai Ilahiyat dimaksud. Nilai-nilai Ilahiyat ini dijadikan dasar dan sekaligus sebagai tujuan dalam pengembangan potensi manusia.
Dalam pandangan filsafat pendidikan Islam nilai-nilai Ilahiyat merupakan nilai yang mengandung kebenaran yang hakiki. Berdasarkan pendekatan filosofis ini, pengembangan potensi manusia diarahkan pada memenuhi jawaban yang mengacu kepada permasalahan yang menyangkut pertanyaan tentang untuk apa potensi itu dianugerahkan oleh Penciptanya bagi kepentingan hidup manusia. Jelasnya bahwa potensi yang dianugerahkan itu tidak lepas dari kaitannya dengan pengabdian kepada Penciptanya.
Pada garis besarnya pengembangan potensi manusia harus mengacu kepada pengabdian dalam bentuk mematuhi ketentuan dan pedoman Allah selaku Pencipta. Sedangkan ungkapan rasa syukur digambar-kan dalam bentuk penghayatan terhadap nilai-nilai akhlak yang terkan-dung didalamnya serta mampu diimplementasikan dalam sikap dan perilaku, lahiriah maupun batiniah. Pengembangan ini diarahkan pada nilai-nilai batin, dengan harapan dapat menumbuhkan kesadaran dalam diri manusia, bahwa segala potensi yang dimiliki merupakan nikmat Allah (QS.16:53).
Kesadaran seperti ini pada saatnya akan mengkristal menjadi do-rongan pengabdian yang didasarkan nilai-nilai intrinsik, yaitu atas dasar kesadaran batin. Nilai intrinsik diperoleh melalui proses yang tumbuh dari daya hayat yang mendalam tentang makna yang terkandung didalamnya. Atas kesadaran itu timbul dorongan dari dalam diri. Bukan atas pengaruh luar.
b. Pendekatan Kronologis
Yang dimaksud dengan pendekatan kronologis adalah pendekatan yang didasarkan atas proses perkembangan melalui pentahapan. Melalui pendekatan ini manusia dipandang sebagai makhluk evolutif. Disadari bahwa manusia bukanlah makhluk siap jadi, yakni setelah lahir langsung menjadi dewasa. Manusia adalah makhluk yang berkembang secara evolusi. Dari lahir hingga menginjak usia dewasa, perkembangan manusia melalui periodisasi.
Secara fisik, kejadian manusia diawali dari proses pembuahan (pertemuan sel telur dan sperma), dan kemudian berkembang menjadi janin (QS.23:12-14), lalu berkembang menjadi anak-anak, remaja, dewasa hingga mencapai usia lanjut (QS.40:67). Setiap tahap perkembangan ditandai oleh adanya ciri khas (karakteristik) tertentu pada kemampuan yang dimilikinya. Jadi manusia memiliki periodisasi dalam perkembangan dan kemampuannya.
Seperti halnya pada aspek pertumbuhan biologis, maka potensi yang dimiliki manusia pun berkembang mengikuti proses perkembangan fisiknya. Perkembangan ini melalui tahap demi tahap hingga mencapai tahap kematangannya. Dengan ditandai oleh karakteristiknya masing-masing, maka pada setiap tahap perkembangan aspek-aspek fisik dan mental yang memiliki tingkat kepekaan untuk dikembangkan secara optimal.
Merujuk kepada kenyataan ini, maka pengembangan potensi manusia harus diarahkan kepada bimbingan secara bertahap pula. Selain itu, pengembangan potensi manusia tidak mungkin dilakukan dengan paksa. Bimbingan yang diberikan harus pula disesuaikan dengan hukum-hukum perkembangan, yang secara umum sama. Atas dasar adanya kaidah umum ini, maka program bimbingan yang efektif dapat diberikan.
Di antara hukum perkembangan itu, diketahui pula bahwa manusia memiliki irama perkembangan yang berbeda-beda. Tiap individu mempunyai irama perkembangan masing-masing. Karena itu bimbingan yang diberikan, harus pula didasarkan pada kemampuan untuk mengenal karakteristik perkembangan, tahap demi tahap. Atas dasar pemahaman ini diketahui, bahwa pencapaian tingkat kematangan fungsi fisik dan mental manusia dalam perkembangannya memiliki irama. Adakalanya seorang anak lebih cepat berjalan, tapi fungsi alat bicaranya terlambat. Sebaliknya ada pula yang terlambat berjalan, tetapi dalam usia yang sama telah memiliki kemampuan berbicara.
c. Pendekatan Fungsional
Setiap potensi yang dianugerahkan Allah kepada manusia tentunya diarahkan untuk dimanfaatkan. Tuhan sebagai Pencipta, mustahil menciptakan sesuatu tanpa tujuan, hingga terkesan mengadakan sesuatu yang sia-sia (QS.44:38). Semua yang diciptakan-Nya pasti mempunyai tujuan, termasuk yang berkaitan dengan pencipta potensi manusia.
Melalui pendekatan fungsional ini, dimaksudkan bahwa pengembangan potensi manusia dilihat dalam kaitannya dengan fungsi potensi itu masing-masing. Dorongan naluriah, seperti makan dan minum dikembangkan dengan tujuan agar manusia dapat memelihara kelanjutan hidup manusia. Sedangkan dorongan seksual dibimbing dan diarahkan untuk menjaga kelanjutan perkembangan jenisnya. Demikian pula pengembangan fungsi inderawi, akal maupun dorongan ketundukan (beragama).
Indera berfungsi sebagai media untuk mengenal dunia luar, hingga manusia dapat berkomunikasi dengan lingkungannya. Fungsi utama akal adalah agar manusia dapat membedakan yang benar dari yang salah. Sedangkan fungsi dorongan beragama adalah agar manusia dapat mengenal dan mengabdi kepada Tuhan sebagai Penciptanya. Dengan demikian setiap potensi secara hakiki memiliki arah perkembangan yang jelas.
Dengan menggunakan pendekatan fungsi ini diharapkan agar arah perkembangan potensi yang ada pada manusia tidak menjadi sia-sia, karena ditelantarkan. Tanpa atau salah dalam memberikan bimbingan. Oleh karena itu arah pengembangannya perlu disesuaikan dengan fungsi utama dari setiap potensi itu masing-masing. Kealpaan atau kekeliruan dalam menyesuaikan bimbingan dengan fungsi potensi akan merugikan masa depan seseorang.
D. PEMIKIRAN PARA TOKOH PENDIDIKAN ISLAM
Pada pembahasan ini yang akan ditampilkan adalah tokoh-tokoh pendidikan Islam, walaupun boleh jadi sebagian tokoh diduga bukan sebagai tokoh ilmu pendidikan Islam, namun ketika dikaji ternyata tokoh-tokoh tersebut memiliki pemikiran tentang masalah-masalah pendidikan Islam, dan dalam pembahasan ini hanya sebagian saja dari tokoh pendidikan Islam yang diuraikan, diantaranya sebagai berikut :
1. Ibn Miskawih
a. Riwayat Hidup
Nama lengkapnya adalah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ya'qub Ibn Miskawaih. la lahir pada tahun 320 H/ 932 M. di Rayy, dan meninggal di Isfahan pada tanggal 9 Shafar tahun 412H/16 Februari 1030 M. Ibn Miskawaih hidup pada masa pemerintahan dinasti Buwaihi (320-450H/932-1062 M.) yang sebagian besar pemukanya bermazhab Syi'ah.
Dari segi latar belakang pendidikannya tidak dijumpai data sejarah yang rinci. Namun dijumpai keterangan, bahwa ia mempelajari sejarah dari Abu Bakr Ahmad Ibn Kamil al-Qadi, mempelajari filsafat dari Ibn al-Akhmar, dan mempelajari kimia dari Abu Thayyib.
Dalam bidang pekerjaan, tercatat, bahwa pekerjaan utama Ibn Miskawaih adalah bendaharawan, sekretaris, pustakawan dan pen-didik anak para pemuka dinasti Buwaihi. Selain akrab dengan pe-nguasa, ia juga banyak bergaul dengan para ilmuwan seperti Abu Hayyan at-Tauhidi, Yahya ibn 'Adi dan Ibn Sina. Selain itu Ibn Miskawaih juga dikenal sebagai sejarawan besar yang kemasyhurannya melebihi pendahulunya, At-Thabari (w.310H./923M). Selanjutnya ia juga dikenal sebagai dokter, penyair dan ahli bahasa. Keahlian Ibn Miskawaih dalam berbagai bidang ilmu tersebut antara lain dibuk-tikan dengan karya tulisnya berupa buku dan artikel.
Jumlah buku dan artikel yang berhasil ditulis oleh Ibn Miskawaih ada 41 buah. Menurut Ahmad Amin, semua karya Ibn Miskawaih tersebut tidak luput dari kepentingan filsafat akhlak. Sehubungan dengan itu tidak mengherankan jika Ibn Miskawaih selanjutnya dikenal sebagai moralis.4 Di antara karya tulisnya adalah Risalah fi al-Lazzat wa al-Alam, Risalah fi at-Thabi'at, Risalah fi fauhar an-Nafs, Maqalat an-Nafs wa al-'Aql, Fi Isbat as-Shuivar al-Ruhaniyat allati la Yahula Lana, min Kitab al-'Aql wa al-Ma'qul, Ta'rif li Miskawaih Yumayyizu bihi bain ad-Dahr wa az-Zaman, Tahzib al-Akhlaq wa Tathhir al-A'raq dan Risalah fi Jawab fi Su'ali li AH ibn Miskawaih Ha Abi Hayyan as-Shaulifi Haqiqat al- 'Adi.
Dari uraian tersebut di atas segera dapat diketahui bahwa Ibn Miskawaih merupakan seorang intelektual Muslim pertama di bidang filsafat akhlak. Keahliannya dalam bidang akhlak tersebut dapat dilihat lebih lanjut dalam konsep pendidikan yang dirumuskannya sebagaimana akan diuraikan di bawah ini.
b. Konsep Pendidikan Ibn Miskawaih
Pemikiran pendidikan Ibn Miskawaih tidak dapat dilepaskan dari konsepnya tentang manusia dan akhlak. Untuk kedua masalah ini dapat dikemukakan sebagai berikut :
(1) Konsep Manusia
Sebagaimana para filosof lainnya Ibn Miskawaih memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki macam-macam daya. Menurutnya dalam diri manusia ada tiga daya, yaitu: (1) Daya ber-nafsu (an-nafs al-bahimiyyaf) sebagai daya terendah; (2) Daya berani (an-nafs as-sabu'iyyat) sebagai daya pertengahan, dan (3) Daya berpikir (an-nafs an-nathiqah) sebagai daya tertinggi. Ketiga daya ini merupakan unsur ruhani manusia yang asal kejadiannya berbeda.
Sesuai dengan pemahaman tersebut di atas, unsur ruhani berupa an-nafs al-bahimiyyat dan an-nafs as-sabu'iyyat berasal dari unsur materi, sedangkan an-nafs an-nathiqat berasal dari ruh Tuhan. Karena itu Ibn Miskawaih berpendapat bahwa kedua an-nafs yang berasal dari materi akan hancur bersama hancurnya badan dan an-nafs an-nathiqat tidak akan mengalami kehancuran.
Selanjutnya Ibn Miskawaih mengatakan bahwa hubungan jiwa al-bahimiyat/as-syahiviyyat (bernafsu) dan jiwa al-ghadabiyat as-sabu'iyyat (berani) dengan jasad pada hakikatnya sama dengan hubungan saling mempengaruhi. Kuat atau Iemahnya, sehat atau sa-kitnya tubuh berpengaruh terhadap kuat atau Iemahnya dan sehat atau sakitnya kedua macam jiwa tersebut. Begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, kedua macam jiwa ini, dalam melaksanakan fungsinya tidak akan sempurna kalau tidak menggunakan alat bendawi atau alat badani yang terdapat dalam tubuh manusia. Dengan demikian Ibn Miskawaih melihat bahwa manusia terdiri dari unsur jasad dan ruhani yang antara satu dan lainnya saling berhubungan.
(2) Konsep Akhlak
Pemikiran Ibn Miskawaih dalam bidang akhlak termasuk salah satu yang mendasari konsepnya dalam bidang pendidikan. Konsep akhlak yang ditawarkannya berdasar pada doktrin jalan tengah.
Doktrin jalan tengah (al-wasath) yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah The Doktrin of the Mean atau The Golden ternyata sudah dikenal para filosof sebelum Ibn Miskawaih. Filosof China, Mencius (551-479) misalnya, memilliki paham tentang doktrin jalan tengah. Filosof Yunani seperti Plato (427-347'SM), Aristoteles (384-322 SM) dan filosof Muslim seperti Al-Kindi dan Ibn Sina juga didapati memiliki paham demikian.
Ibn Miskawaih secara umum memberi pengertian pertengahan (jalan tengah) tersebut antara lain dengan keseimbangan, moderat, harmoni, utama, mulia, atau posisi tengah antara dua ekstrem. Akan tetapi ia tampak cenderung berpendapat bahwa keutamaan akhlak secara umum diartikan sebagai posisi tengah antara ekstrem kelebihan dan ekstrem kekurangan masing-masing jiwa manusia. Dari sini terlihat bahwa Ibn Miskawaih memberi tekanan yang lebih untuk pertama kali buat pribadi. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, jiwa manusia ada tiga, yaitu: jiwa al-bahimiyah, al-ghadabiyah dan an-nathiqah. Menurut Ibn Miskawaih, posisi tengah jiwa al-bahimiyah adalah al-'iffah yaitu menjaga diri dari perbuatan dosa dan maksiat seperti berzina. Selanjutnya posisi tengah jiwa al-ghadabiyah adalah as-saja'ah atau perwira, yaitu keberanian yang diperhitungkan dengan masak untung ruginya. Sedangkan posisi tengah dari jiwa an-nathiqah adalah al-hikmah yaitu kebijaksanaan. Adapun perpaduan dari ketiga posisi tengah tersebut adalah keadilan atau keseimbangan.
Keempat keutamaan akhlak tersebut (al-iffah, as-saja'ah, al-hikmah dan al-'adalah) merupakan pokok atau induk akhlak yang mulia. Akhlak-akhlak mulia lainnya seperti jujur, ikhlas, kasih sayang, hemat, dan sebagainya merupakan cabang dari keernpat induk akhlak tersebut. Cabang dari keempat pokok keutamaan itu amat banyak jumlahnya, bahkan tidak terhitung.
Selanjutnya Ibn Miskawaih menegaskan bahwa setiap keutamaan tersebut memiliki dua sisi yang ekstrem. Yang tengah bersifat terpuji dan yang ekstrem tercela. Dalam menguraikan sikap tengah dalam bentuk akhlak tersebut, Ibn Miskawaih tidak membawa satu ayat pun dari Al-Qur'an, dan tidak pula membawa dalil Al-Hadits. Namun demikian menurut penilaian Abd al-Halim Mahmud dan Al-Ghazali, bahwa spirit doktrin ajaran tengah ini sejalan dengan ajaran Islam. Hal demikian dapat dipahami, karena banyak dijumpai ayat-ayat Al-Qur'an yang memberi isyarat untuk itu, seperti tidak boleh kikir tetapi juga tidak boleh boros, melainkan harus bersifat di antara kikir dan boros.
(2) Konsep Pendidikan
Bertolak dari dasar pemikiran tersebut, Ibn Miskawaih membangun konsep pendidikan yang bertumpu pada pendidikan akhlak. Di sini terlihat dengan jelas bahwa karena dasar pemikiran Ibn Miskawaih dalam bidang akhlak, maka konsep pendidikan yang dibangunnya pun adalah pendidikan akhlak. Konsep pendidikan akhlak dari Ibn Miskawaih ini selengkapnya dapat dikemukakan sebagai berikut.
Tujuan Pendidikan Akhlak
Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan Ibn Miskawaih adalah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan sejati dan sempurna. Dengan alasan ini, maka Ahmad Abd al-Hamid as-Sya'ir dan Muhammad Yusuf Musa menggolongkan Ibn Miskawaih sebagai filosof yang bermazhab as-sa'adat di bidang akhlak. Al-Sa'adat memang merupakan persoalan utama dan mendasar bagi Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam hidup manusia dan sekaligus bagi pendidikan akhlak. Makna al-sa'adat sebagaimana dinyatakan M. Abdul Hak Ansari tidak mungkin dapat dicari padanan katanya dalam bahasa Inggris walaupun secara umum diartikan sebagai happines. Menurutnya as-Sa'adat merupakan konsep komprehensif yang di dalamnya terkandung unsur kebahagiaan (happiness), kemakmuran (prosperity), keberhasilan (succes), kesempurnaan (perfection), kesenangan (blessedness), dan kecantikan (beautitude).
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka tujuan pendidikan yang ingin dicapai Ibn Miskawaih bersifat menyeluruh, yakni mencakup kebahagiaan hidup manusia dalam arti yang seluas-luasnya.
Materi Pendidikan Akhlak
Untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan, Ibn Miskawaih menyebutkan beberapa hal yang perlu dipelajari, diajarkan atau dipraktekkan. Sesuai dengan konsepnya tentang manusia, secara umum Ibn Miskawaih menghendaki agar semua sisi kemanusiaan mendapatkan materi didikan yang memberi jalan bagi tercapainya tujuan pendidikan. Materi-materi dimaksud oleh Ibn Miskawaih di-abdikan pula sebagai bentuk pengabdian kepada Allah SWT.
Sejalan dengan uraian tersebut di atas, Ibn Miskawaih menyebutkan tiga hal pokok yang dapat dipahami sebagai materi pendidikan akhlaknya. Tiga hal pokok tersebut adalah (l) hal-hal yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia, (2) hal-hal yang wajib bagi jiwa, dan (3) hal-hal yang wajib bagi hubungannya dengan sesama manusia. Ketiga pokok materi tersebut menurut Ibn Miskawaih dapat diperoleh dari ilmu-ilmu yang secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pemikiran yang selanjutnya disebut al-ulum al-fikriyah, dan kedua ilmu-ilmu yang berkaitan dengan indera yang selanjutnya disebut al-ulum al-hissiyat. Berbeda dengan Al-Ghazali, Ibn Miskawaih tidak membeda-bedakan antara materi yang terdapat dalam ilmu agama dan materi yang terdapat dalam ilmu non-agama serta hukum mempelajarinya.
Ibn Miskawaih tidak memperinci materi pendidikan yang wajib bagi kebutuhan manusia, Secara sepintas tampaknya agak ganjil. Materi pendidikan akhlak yang wajib bagi kebutuhan manusia disebut oleh Ibn Miskawaih antara lain shalat, puasa, dan sa'i. Ibn Miskawaih tidak memberi penjelasan lebih lanjut terhadap contoh yang diajukan ini. Hal ini barangkali didasarkan pada perkiraannya, bahwa tanpa uraian secara terperinci pun orang sudah menangkap maksudnya. Gerakan-gerakan shalat secara teratur yang paling sedikit dilakukan lima kali sehari seperti mengangkat tangan, berdiri, ruku dan sujud memang memiliki unsure olah tubuh. Shalat sebagai jenis olah tubuh akan lebih dirasakan dan disadari sebagai olah tubuh (gerak badan) bilamana dalam berdiri, ruku dan sujud dilakukan dalam tempo yang agak lama.
Selanjutnya materi pendidikan akhlak yang wajib dipelajari bagi keperluan jiwa, dicontohkan oleh Ibn Miskawaih dengan pemba-hasan tentang akidah yang benar, mengesakan Allah dengan segala kebesaran-Nya, serta motivasi untuk senang kepada ilmu. Adapun materi yang terkait dengan keperluan manusia terhadap manusia lain, dicontohkan dengan materi dalam ilmu muamalat, pertanian, perkawinan, saling menasehati, peperangan dan Iain-lain.
Selanjutnya karena materi-materi tersebut selalu dikaitkan dengan pengabdian kepada Tuhan, maka apa pun materi yang terdapat dalam suatu ilmu yang ada, asal semuanya tidak lepas dari tujuan pengabdian kepada Tuhan, Ibn Miskawaih tampak akan menyetujuinya. la menyebut misalnya ilmu nahwu (tata bahasa). Dalam rangka pendidikan akhlak, Ibn Miskawaih sangat mementingkan materi yang ada dalam ilmu ini, karena materi yang ada dalam ilmu ini akan membantu manusia untuk lurus dalam berbicara. Demikian pula materi yang ada dalam ilmu manthiq (logika) akan membantu manusia untuk lurus dalam berpikir.
Adapun materi yang terdapat dalam ilmu pasti seperti ilmu hitung (al-hisab), dan geometri (al-handasaf) akan membantu manusia untuk terbiasa berkata benar dan benci kepalsuan. Sementara itu sejarah dan sastra akan membantu manusia untuk berlaku sopan. Materi yang ada dalam syari'at sangat ditekankan oleh Ibn Miskawaih. Menurutnya, dengan mendalami syari'at, manusia akan teguh pendirian, terbiasa berbuat yang diridhoi Tuhan, dan jiwa siap menerima hikmat hingga mencapai kehagian (as-sa’adat).
Pendidik dan Anak Didik
Pendidik yang dalam hal ini guru, instruktur, ustadz atau dosen memegang peranan penting dalam keberlangsungan kegiatan pengajaran dan pendidikan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Sedangkan anak didik yang selanjutnya disebut murid, siswa, peserta didik atau mahasiswa merupakan sasaran kegiatan pengajaran dan pendidikan merupakan bagian yang perlu mendapatkan perhatian yang seksama. Perbedaan anak didik dapat menyebabkan terjadinya perbedaan materi, metode, pendekatan dan sebagainya.
Kedua aspek pendidikan (pendidik dan anak didik) ini men-dapat perhatian yang khusus dari Ibn Miskawaih. Menurutnya, orang tua tetap merupakan pendidik yang mula-mula bagi anak-anaknya dengan syariat sebagai acuan utama materi pendidikannya. Karena peran yang demikian besar dari orang tua dalam kegiatan pendidikan, maka perlu adanya hubungan yang harmonis antara orang tua dan anak yang didasarkan pada cinta kasih. Namun demikian, cinta seseorang terhadap gurunya, menurut Ibn Miskawaih harus mele-bihi cintanya terhadap orang tuanya sendiri. Kecintaan anak didik atau murid disamakan kedudukannya dengan kecintaan hamba terhadap Tuhannya. Akan tetapi karena kecintaan terhadap Tuhan ini jarang ada yang mampu melakukannya, maka Ibn Miskawaih mendudukkan cinta murid terhadap guru berada di antara kecintaan terhadap orang tua dan kecintaan terhadap Tuhan.
Alasan yang ia ajukan adalah karena seorang guru dianggap lebih berperan dalam mendidik kejiwaan muridnya dalam rangka mencapai kebahagiaan sejati. Guru berfungsi sebagai orang tua atau bapak ruhani, orang yang dimuliakan dan kebaikan yang diberikan adalah kebaikan Ilahi. Selain itu karena guru berperan membawa anak didik kepada kearifan, mengisi jiwa anak didik dengan kebijaksanaan yang tinggi dan menunjukkan kepada mereka kehidupan abadi dan dalam kenikmatan yang abadi pula.
Namun demikian, Ibn Miskawaih tampaknya tidak menempatkan Guru secara keseluruhan pada posisi dan derajat tersebut di atas. Guru yang menempati posisi yang demikian tinggi itu adalah guru yang berderajat mu'allim al-misal (misalnya), al-hakim, atau al-mu'allim al-hikrnat ?
Pendidik sejati yang dimaksudkan Ibn Miskawaih adalah manusia ideal seperti yang terdapat pada konsepsinya tentang manusia yang ideal. Hal demikian terlihat jelas karena ia mensejajarkan posisi mereka sama dengan posisi nabi, terutama dalam hal cinta kasih. Cinta kasih anak didik terhadap pendidiknya menempati urutan kedua setelah cinta kasih terhadap Allah.
Dari pandangan demikian itu, dapat diambil suatu pemahaman bahwa guru yang tidak mencapai derajat seperti yang dimaksudkan di atas dinilai sama oleh Ibn Miskawaih dengan seorang teman atau saudara, karena dari mereka itu dapat juga diperoleh ilmu dan adab.
Menurutnya yang tergolong sebagai teman atau saudara adalah orang yang satu keturunan atau lainnya, baik anak-anak maupun orang tua. Ibn Miskawaih juga menyatakan bahwa cinta itu banyak jenis, sebab dan kualitasnya. Secara umum ia membagi cinta kepada empat bagian. Pertama, cinta yang cepat melekat tetapi juga cepat pudar. Kedua, cinta yang cepat melekat tetapi tidak cepat pudar. Ketiga, cinta yang melekatnya lambat tetapi pudarnya cepat pula, dan ke-empat cinta yang melekat dan pudarnya lambat. Cinta yang dasarnya karena kenikmatan, termasuk cinta yang cepat melekat dan cepat pula pudarnya. Sedangkan cinta yang dasarnya karena kebaikan, termasuk cinta yang cepat melekat tetapi lambat pudarnya.
Selanjutnya cinta yang didasarkan atas kemanfaatan, termasuk cinta yang lambat melekatnya dan cepat pula pudar. Sedangkan cinta yang dasarnya adalah semua jenis kebaikan tersebut, maka melekat dan pudarnya lambat.
Macam-macam cinta ini, menurutnya sekedar cinta manusiawi. Ibn Miskawaih sangat mengharapkan adanya cinta selain itu semua. Cinta yang diharapkan adalah cinta yang didasarkan atas semua jenis kebaikan itu, tetapi kualitasnya lebih lama, sehingga menjadi cinta yang murni dan sempuma. Cinta demikian disebutnya dengan cinta Ilahi. Cinta ini tidak memiliki cacat sedikit pun, karena ia muncul dari manusia yang suci terlepas dari pengaruh kematerian. Pemikiran demikian itu sejalan dengan tujuan pendidikan akhlak yang telah diuraikan di atas.
Adapun posisi teman atau saudara, menurut Ibn Miskawaih, paling tinggi hanya mungkin diletakkan di atas berbagai hubungan cinta kasih tersebut, tetapi masih berada di bawah cinta murni. Dengan demikian, maka cinta murid terhadap guru biasa, masih menempati posisi lebih tinggi daripada cinta anak terhadap orang tua, hanya saja tidak mencapai cinta murid terhadap guru idealnya. Seperti halnya pada masalah lain, Ibn Miskawaih selalu berusaha mencari yang terbaik. Yang terbaik, sebagaimana telah disebutkan di atas adalah yang pertengahan. Karena itu posisi guru biasa, bisa diletakkan di antara posisi guru yang ideal dan orang tua.
Adapun yang dimaksud dengan guru biasa oleh Ibn Miskawaih tersebut bukan dalam arti sekedar guru formal karena jabatan. Menurutnya, guru biasa adalah mereka yang memiliki berbagai persyaratan antara lain: (l) bisa dipercaya; (2) pandai; (3) dicintai; sejarah hidupnya jelas tidak tercemar di masyarakat. Di samping itu, ia hendaknya menjadi cermin atau panutan dan bahkan harus lebih mulia dari orang yang dididiknya.
Perlunya hubungan yang didasarkan pada cinta kasih antara guru dan murid tersebut di atas dipandang demikian penting, karena terkait dengan keberhasilan dalam kegiatan belajar mengajar. Kegiatan belajar mengajar yang didasarkan atas cinta kasih antara guru dan murid dapat memberi dampak yang positif bagi keberhasilan pendidikan.
Lingkungan Pendidikan
Seperti pernah dikemukakan sebelumnya, Ibn Miskawaih berpendapat bahwa usaha mencapai kebahagiaan (as-sa'adat) tidak dapat dilakukan sendiri, tetapi harus bersama atas dasar saling me-nolong dan saling melengkapi. Kondisi demikian akan tercipta apa-bila sesama manusia saling mencintai. Setiap pribadi merasa bahwa kesempurnaan dirinya akan terwujud karena kesempurnaan yang lainnya. Jika tidak demikian, maka kebahagiaan tidak dapat dicapai dengan sempurna. Atas dasar itu, maka setiap individu mendapati posisi sebagai salah satu anggota dari seluruh anggota badan. Manusia menjadi kuat dikarenakan kesempurnaan anggota-anggota badannya.
Selanjutnya Ibn Miskawaih berpendapat, bahwa sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan kondisi yang baik dari luar dirinya. Selanjutnya ia menyatakan bahwa sebaik-baik manusia adalah orang yang berbuat baik terhadap keluarga dan orang-orang yang masih ada kaitan dengannya mulai dari saudara, anak, atau orang yang masih ada hubungannya dengan saudara atau anak, kerabat, keturunan, rekan, tetangga, kawan atau kekasih.
Selanjutnya Ibn Miskawaih berpendapat bahwa salah satu tabiat manusia adalah memelihara diri. Karena itu manusia selalu berusaha untuk memperolehnya bersama dengan makhluk sejenisnya. Di antara cara untuk mencapainya adalah dengan sering bertemu. Manfaat dari hasil pertemuan di antaranya adalah akan memperkuat akidah yang benar dan kestabilan cinta kasih sesamanya. Upaya untuk ini, antara lain dengan melaksanakan kewajiban syari'at. Shalat Jum'at, shalat berjama'ah, shalat hari raya, dan haji menurut Ibn Miskawaih merupakan isyarat bagi adanya kewajiban untuk saling bertemu, sekurang-kurangnya satu minggu sekali. Pertemuan ini bukan saja dengan orang-orang yang berada dalam lingkungan terdekat, tetapi sampai pada tingkat yang paling jauh.
Untuk mencapai keadaan lingkungan yang demikian itu, menurut Ibn Miskawaih terkait dengan politik pemerintahan. Kepala ne-gara berikut aparatnya mempunyai kewajiban untuk mencipta-kannya. Karena itu, Ibn Miskawaih berpendapat bahwa agama dan negara ibarat dua saudara yang saling melengkapi. Satu dengan yang lainnya saling menyempurnakan. Cinta kasih kepala negara (pemimpin) terhadap rakyatnya semisal cinta kasih orang tua terhadap anak-anaknya. Terhadap pemimpin demikian, rakyat wajib mencintainya semisal cinta anak terhadap orang tuanya. Selanjutnya bagaimana dengan lingkungan pendidikan yang merupakan pokok bahasan pada bagian ini. Selama ini dikenal adanya tiga lingkungan pendidikan, yaitu lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Ibn Miskawaih secara eksplisit tidak membicara kan ketiga masalah lingkungan tersebut. Ibn Miskawaih membica-rakan lingkungan pendidikan dengan cara yang bersifat umum. Yaitu dengan membicarakan lingkungan masyarakat pada umumnya, mulai dari lingkungan sekolah yang menyangkut hubungan guru dan murid, lingkungan pemerintahan yang menyangkut hubungan rakyat dengan pemimpinnya, sampai lingkungan rumah tangga yang meliputi hubungan orang tua dengan anak dan anggota lingkungan lainnya. Keseluruhan lingkungan ini satu dan lainnya secara akumulatif berpengaruh terhadap terciptanya lingkungan pendidikan.
Metodologi Pendidikan
Metodologi pendidikan dapat diartikan sebagai cara-cara yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan, yaitu perubahan-perubahan kepada keadaan yang lebih baik dari sebelumnya. Dengan demikian metode ini terkait dengan perubahan atau perbaikan. Jika sasarannya adalah perbaikan akhlak, maka metode pendidikan di sini berkaitan dengan metode pendidikan akhlak. Dalam kaitan ini Ibn Miskawaih berpendirian bahwa masalah perbaikan akhlak bukanlah merupakan bawaan atau warisan, karena jika demikian keadaannya tidak diperlukan adanya pendidikan. Ibn Miskawaih berpendirian bahwa akhlak seseorang dapat diusahakan atau menerima perubahan yang diusahakan. Jika demikian halnya, maka usaha-usaha untuk mengubahnya diperlukan adanya cara-cara yang efektif yang selanjutnya dikenal dengan istilah metodologi.
Metodologi perbaikan akhlak di sini dapat diberi pengertian sebagai metode mencapai akhlak yang baik, dan metode memper-baiki akhlak yang buruk. Walaupun demikian, pembahasannya disa-tukan karena antara satu dengan yang lainnya saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan secara ketat. Terdapat beberapa metode yang diajukan Ibn Miskawaih dalam mencapai akhlak yang baik.
Pertama, adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk berlatih terus-menerus dan menahan diri (al-'adat wa al-jihad) untuk memperoleh keutamaan dan kesopanan yang sebenarnya sesuai dengan keutamaan jiwa. Latihan ini terutama diarahkan agar manusia tidak memperturutkan kemauan jiwa al-syahwaniyyat dan al-ghadabiyyat. Karena kedua jiwa ini sangat terkait dengan alat tubuh, maka wujud latihan dan menahan diri dapat dilakukan antara lain dengan tidak makan dan tidak minum yang membawa kerusakan tubuh, atau dengan melakukan puasa. Apabila kemalasan muncul, maka latihan yang patut dilakukan antara lain adalah bekerja yang di dalamnya mengandung unsur yang berat; seperti mengerjakan shalat yang lima, atau melakukan sebagian pekerjaan baik yang di dalamnya me-ngandung unsur yang melelahkan.
Latihan yang sungguh-sungguh semacam ini diumpamakan oleh Ibn Miskawaih seperti kesiapan raja sebelum berhadapan dengan musuh. Kesiapan dimaksud mengandung pengertian harus dilakukan secara dini, terus-menerus dan tidak menunggu waktu.
Metode semacam ini ditemui pula dalam karya etika para filosof lain seperti halnya yang dilakukan Imam al-Ghazali, Ibn Arabi dan Ibn Sina. Metode semacam ini termasuk metode yang paling efektif untuk memperoleh keutamaan jiwa. Kedua, dengan menjadikan semua pengetahuan dan pengalaman orang lain sebagai cermin bagi dirinya. Adapun pengetahuan dan pengalaman yang dimaksud dengan pernyataan ini adalah pengetahuan dan pengalaman berkenaan dengan hukum-hukum akhlak yang berlaku bagi sebab munculnya kebaikan dan keburukan bagi manusia. Dengan cara ini seseorang tidak akan hanyut ke dalam perbuatan yang tidak baik, karena ia bercermin kepada per-buatan buruk dan akibatnya yang dialami orang lain. Manakala ia mengukur kejelekan atau keburukan orang lain, ia kemudian mencurigai dirinya, bahwa dirinya juga sedikit banyak memiliki kekurangan seperti orang tersebut, lalu menyelidiki dirinya. Dengan demikian, maka setiap malam dan siang ia akan selalu meninjau kembali semua perbuatannya, sehingga tidak satu pun perbuatan-nya terhindar dari perhatiannya.
2. Imam Al-Ghazali
a. Riwayat Hidup
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali dilahirkan di Thus, sebuah kota di Khurasan, Persia, pada tahun 450 H atau 1058 M. Ayahnya seorang pemintal wool, yang selalu memintal dan menjualnya sendiri di kota itu. (Fathiyah Hasan Sulaiman, 1993 : 9) Al-Ghazali mempunyai seorang saudara. Ketika akan meninggal, ayahnya berpesan kepada sahabat setianya agar kedua putranya itu diasuh dan disempurnakan pendidikannya setuntas-tuntasnya. Sahabatnya segera melaksanakan wasiat ayah Al-Ghazali. Kedua anak itu dididik dan disekolahkan, setelah harta pusaka. peninggalan ayah mereka habis, mereka dinasehati agar meneruskan mencari ilmu semampu-mampunya.
Imam Ghazali sejak kecilnya dikenai sebagai seorang anak pencinta ilmu pengetahuan dan penggandrung mencari keberiaran yang hakiki, sekalipun diterpa duka cita, dilanda aneka rupa duka nestapa dan sengsara. Di masa kanak-kanak Imam Ghazali belajar kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Radzikani di Thus kemudian belajar kepada Abi Nashr al-Ismaili di Jurjani dan akhimya ia kembali ke Thus lagi.
Pada kali yang lain diceritakan bahwa dalam perjalanan pulangnya, beliau dan teman-teman seperjalanannya dihadang sekawanan pembegal yang kemudian merampas harta dan kebutuhan-kebutuhan yang mereka bawa. Para pembegal tersebut merebut tas Imam Ghazali yang berisi buku-buku filsafat dan ilmu pengetahuan yang beliau senangi. Kemudian Al-Ghazali berharap kepada mereka agar sudi mengembalikan tasnya, karena beliau ingin mendapatkan berbagai macam ilmu pengetahuan yang terdapat dalam buku itu. Kawanan perampok merasa iba hati dan kasihan padanya, akhirnya mereka mengembalikan kitab-kitab itu kepadanya.
Diceritakan pula setelah peristiwa itu beliau menjadi rajin sekali mempelajari kitab-kitabnya, memahami ilmu yang terkandung di dalamnya dan berusaha mengamalkannya. Bahkan beliau selalu menaruh kitab-kitabnya di suatu tempat khusus yang aman. Sesudah itu Imam Ghazali pindah ke Nisabur untuk belajar kepada seorang ahli agama kenamaan di masanya, yaitu al-Juwaini, Imam al-Harmain (w.478 H. atau 1085 M). Dari beliau ini dia belajar Ilmu kalam, Ilmu Ushul dan Ilmu Pengetahuan Agama lainnya.
Imam Ghazali memang orang yang cerdas dan sanggup men-debat segala sesuatu yang tidak sesuai dengan penalaran yang jernih hingga Imam al-Juwaini sempat memberi predikat beliau itu sebagai orang yang memiliki ilmu yang sangat luas bagaikan "laut dalam yang menenggelamkan (bahrun mughriq)." Ketika gurunya ini meninggal dunia, Al-Ghazali meninggalkan Nisabur menuju ke Istana Nidzam al-Mulk yang menjadi seorang perdana menteri Sultan Bani Saljuk.
Keikutsertaan Ghazali dalam suatu diskusi bersama seke-lompok ulama dan para intelektual di hadapan Nidzam al Mulk membawa kemenangan baginya. Hal itu tidak lain berkat keting-gian ilmu filsafatnya, kekayaan ilmu pengetahuannya, kefasihan lidahnya dan kejituan argumentasinya. Nidzam al-Mulk benar-benar kagum melihat kehebatan beliau ini dan berjanji akan meng-angkatnya sebagai guru besar di Universitas yang didirikannya di Bahgdad. Peristiwa ini terjadi pada tahun 484 atau 1091M.
Di tengah-tengah kesibukannya mengajar di Bahgdad beliau masih sempat mengarang sejumlah kitab seperti: Al Basith, Al Wasith, Al-Wajiz, Khulashah Ilmu Fiqh, Al-Munqil fi Urn al-Jadal (Ilmu Berdebat), Ma'khadz al-Khalaf, Lubab al-Nadzar, Tashin al-Ma'akhidz dan Al-Mabad wa al-Ghayatfi Fann al-Khalaf. Namun kesibukan dalam karang-mengarang ini tidaklah mengganggu perhatian beliau terhadap Ilmu Metafisika dan beliau selalu meragukan kebenaran adat-istiadat warisan nenek moyang di mana belum ada seorang pun yang memperdebatkan soal kebenarannya atau menggali asal-usul dari timbulnya adat istiadat tersebut.
Begitu juga ditengah-tengah kesibukan ini, beliau juga belajar berbagai ilmu pengetahuan dan filsafat klasik seperti Filsafat Yunani, sebagaimana beliau juga mempelajari berbagai aliran agama yang beraneka ragam yang terkenal di waktu itu. Beliau mendalami berbagai bidang studi ini dengan harapan agar dapat meno-longnya mencapai ilmu pengetahuan sejati yang sangat didambakan.
Setelah empat tahun beliau memutuskan untuk berhenti mengajar di Baghdad. Lalu ditinggalkannya kota tersebut untuk me-nunaikan ibadah Haji. Setelah itu beliau menuju ke Syam, hidup dalam Jami' Umawy dengan kehidupan serba penuh ibadah, dilanjutkan mengembara ke berbagai padang pasir untuk melatih diri menjauhi barang-barang terlarang (haram), meninggalkan kesejahteraan dan kemewahan hidup, mendalami masalah keruhanian dan penghayatan agama.
Demikianlah Imam Ghazali mempersiapkan dirinya dengan persiapan agama yang benar dan mensucikan jiwanya dari noda-noda keduniaan, sehingga beliau menjadi seorang filosof ahli tasa-wuf pertama kali dan seorang pembela agama Islam yang besar serta salah seorang pemimpin yang menonjol di zamannya.
Kemudian pada suatu waktu, beliau pulang ke Baghdad kembali mengajar di sana. Hanya saja beliau menjadi guru besar dalam bidang studi lain tidak seperti dahulu lagi. Setelah menjadi guru besar dalam berbagai ilmu pengetahuan agama, sekarang tugasnya menjadi Imam ahli agama dan tasawuf serta penasihat spesialis dalam bidang agama.
Kitab pertama yang beliau karang setelah kembali ke Baghdad ialah kitab Al-Munqidz min al-Dholal (Penyelamat dari Kesesatan). Kitab ini dianggap sebagai salah satu buku referensi yang penting bagi sejarawan yang ingin mendapatkan pengetahuan tentang kehidupan Imam Ghazali. Kitab ini mengandung keterangan sejarah hidupnya di waktu transisi yang mengubah pandangannya tentang nilai-nilai kehidupan. Dalam kitab ini juga, beliau menjelaskan bagaimana Iman dalam jiwa itu tumbuh dan berkembang, bagaimana hakikat ketuhanan itu dapat tersingkap atau terbuka bagi ummat manusia, bagaimana mencapai pengetahuan sejati (Ilmu yaqin) dengan cara tanpa berpikir dan logika namun dengan cara ilham dan mukasyafah (terbuka hijab) menurut ajaran tasawuf.
Sekembalinya Imam Ghazali ke Bahgdad sekitar sepuluh tahun, beliau pindah ke Naisaburi dan sibuk mengajar di sana dalam waktu yang tidak lama, setelah itu beliau meninggal dunia di kota Thus, kota kelahirannya, pada tahun 505 H. atau 1111 M.
b. Konsep Pendidikan Al-Ghazali
Untuk mengetahui konsep pendidikan Al-Ghazali ini dapat diketahui antara lain dengan cara mengetahui dan memahami pemikirannya yang berkenaan dengan berbagai aspek yang ber-kaitan dengan pendidikan, yaitu aspek tujuan pendidikan, kurikulum, metode, etika guru dan etika murid berikut ini.
1. Tujuan Pendidikan
Rumusan tujuan pendidikan pada hakikatnya merupakan rumusan filsafat atau pemikiran yang mendalam tentang pendidikan. Seseorang baru dapat merumuskan suatu tujuan kegiatan, jika ia memahami secara benar filsafat yang mendasarinya. Rumusan tujuan ini selanjutnya akan menentukan aspek kurikulum, metode, guru dan lainnya yang berkaitan dengan pendidikan. Dari hasil studi terhadap pemikiran Al-Ghazali dapat diketahui dengan jelas, bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai melalui kegiatan pendidikan ada dua. Pertama, tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah, dan kedua, kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat.(Fathiyah Hasan Sulaiman, 1993 : 48) Karena itu ia bercita-cita mengajarkan manusia agar mereka sampai pada sasaran-sasaran yang merupakan tujuan akhir dan maksud pendidikan itu. Tujuan ini tampak bemuansa religius dan moral, tanpa mengabaikan masalah duniawi.
Pendidikan Islam itu secara umum mempunyai corak yang spesifik, yaitu adanya cap (stempel) agama dan etika yang kelihatan nyata pada sasaran-sasaran dan sarananya, dengan tidak mengabaikan masalah-masalah keduniaan. Dan pendapat Al-Ghazali tentang pendidikan pada umumnya sejalan dengan trend-trend agama dan etika. Al-Ghazali juga tidak melupakan masalah-masalah duniawi, karenanya ia beri ruang dalam sistem pendidikannya bagi perkembangan duniawi. Tetapi dalam pandangannya, mempersiapkan diri untuk masalah-masalah dunia itu hanya dimaksudkan sebagai jalan menuju kebahagiaan hidup di alam akhirat yang lebih utama dan kekal. Dunia adalah alat perkebunan untuk kehidupan akhirat, sebagai alat yang akan mengantarkan seseorang menemui Tuhannya. Ini tentunya bagi yang memandangnya sebagai alat dan tempat tinggal sementara, bukan bagi orang yang memandangnya sebagai tempat untuk selamanya.
Akan tetapi pendapat Al-Ghazali tersebut, di samping bercorak agamis yang merupakan ciri spesifik pendidikan Islam, tampak pula cenderung kepada sisi keruhanian. Dan kecenderungan tersebut menurut keadaannya yang sebenarnya, sejalan dengan filsafat al-Ghazali yang bercorak Tasawuf. Maka sasaran pendidikan, menurut Al-Ghazali, adalah kesempurnaan insani di dunia dan akhirat. Dan manusia akan sampai kepada tingkat kesempurnaan itu hanya dengan menguasai sifat keutamaan melalui jalur ilmu. Keutamaan itulah yang akan membuat dia bahagia di dunia dan mendekatkan dia kepada Allah SWT. sehingga ia menjadi bahagia di akhirat kelak.
Sungguhpun Al-Ghazali dikenal sebagai orang yang terkendali oleh jiwa agamis dan sufi yang mana keduanya telah mempengaruhi pandangannya tentang hidup, tentang nilai-nilai yang terda-pat dalam kehidupan dan kedua-duanya juga telah membuat dia mencari jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mencari kebahagiaan di akhirat, namun ia tidak lupa bahwa ilmu itu sendiri perlu dituntut, mengingat keutamaan dan keindahan yang dimilikinya. Ia melihat bahwa ilmu itu sendiri adalah keutamaan dan ia melebihi segala-galanya. Oleh karena itu, menguasai ilmu bagi dia, termasuk tujuan pendidikan, mengingat nilai yang dikandungnya serta kelezatan dan kenikmatan yang diperoleh manusia padanya.
la kemukakan; apabila anda melihat kepada ilmu maka tampak oleh anda bahwa ilmu itu sendiri adalah lezat dan oleh karena itu pula maka ilmu itu sendiri selalu dicari. Anda juga akan mengetahui bahwa ia merupakan jalan yang akan mengantarkan anda kepada kebahagiaan di negeri akhirat; sebagai medium untuk taqarrub kepada Allah, di mana tak satupun bisa sampai kepadanya tanpa ilmu; tingkat termulia bagi seorang manusia adalah kebahagiaan yang abadi; di antara wujud yang paling utama adalah wujud yang menjadi perantara kebahagiaan; tetapi kebahagiaan itu tak mungkin tercapai kecuali dengan ilmu dan amal; dan amal tak mungkin dicapai kecuali jika ilmu tentang cara beramal dikuasai.
Dengan demikian, maka modal kebahagiaan di dunia dan akhirat itu, tak lain, adalah ilmu. Kalau demikian, maka ilmu adalah amal yang terutama.
2. Kurikulum
Konsep kurikulum yang dikemukakan Al-Ghazali terkait erat dengan konsepnya mengenai ilmu pengetahuan. Dalam pandangan Al-Ghazali ilmu terbagi kepada tiga bagian, sebagai berikut.
Pertama, ilmu-ilmu yang terkutuk baik sedikit maupun banyak, yaitu ilmu-ilmu yang tidak ada manfaatnya, baik di dunia maupun di akhirat, seperti ilmu sihir, ilmu nujum dan ilmu ramalan. Al-Ghazali menilai ilmu tersebut tercela karena ilmu-ilmu tersebut terkadang dapat menimbulkan mudharat (kesusahan) baik bagi yang memilikinya, maupun bagi orang lain. Ilmu sihir dan ilmu guna-guna misalnya dapat mencelakakan orang, dan dapat memisahkan antara sesama manusia yang bersahabat atau saling mencintai, menyebarkan rasa sakit hati, permusuhan, menimbulkan kejahatan dan sebagainya. Selanjutnya ilmu nujum yang tergolong ilmu yang tidak tercela ini menurut Al-Ghazali dapat dibagi dua, yaitu ilmu nujum yang berdasarkan perhitungan (hisab), dan ilmu nujum yang berdasarkan istidlaly, yaitu semacam astrologi dan meramal nasib berdasarkan petunjuk bintang. Ilmu nujum jenis kedua ini menurut Al-Ghazali tercela menurut syara', sebab dengan ilmu itu dapat menyebabkan manusia menjadi ragu pada Allah, lalu menjadi kafir. Misalnya, suatu ketika seorang tukang nujum meramalkan bakal terjadi sesuatu di langit dengan berpedoman pada keyakinan langsung atau berdasarkan studi tentang bintang-bintang, kemudian pada waktu terjadinya peristiwa yang diramalkan itu, secara kebetulan terjadi tepat pada waktu yang ditentukan sebelumnya, tentu manusia akan merasa takjub atas kemampuan tukang nujum itu, dan seterusnya orang-orang-tersebut akan percaya pada ramalan tukang nujum itu. Kesempatan ini bisa jadi dimanfaatkan oleh tukang nujum untuk menyatakan dirinya sebagai nabi, orang sakti dan sebagainya. Keadaan tersebut selanjutnya akan ia gunakan untuk memperluas pengaruhnya di tengah-tengah masyarakat, memaksa orang lain untuk melayani keperluannya dan seterusnya. Masih berkenaan dengan ilmu ini Al-Ghazali mengatakan, bahwa dengan menyelami ilmu ini tidak akan membawa manfaat, dan terkadang membawa manusia menjadi kufur kepada Allah SWT. seperti mempelajari bagian-bagian yang rumit dari suatu ilmu sebelum memahami bagian-bagiannya yang jelas, atau seperti mempelajari tentang rahasia-rahasia Ilahiyat. Ia sebutkan juga beberapa ilmu lain yang di antaranya adalah bagian dari ilmu filsafat seperti metafisika.
Masih dalam ilmu yang termasuk bagian pertama di atas, al-Ghazali mengatakan bahwa mempelajari filsafat bagi setiap orang tidaklah wajib, karena menurut tabi'atnya tidak semua orang dapat mempelajari ilmu tersebut dengan baik. Orang-orang yang mempelajari ilmu tersebut tak ubahnya seperti anak kecil yang masih menyusu. Anak kecil itu akan jatuh sakit apabila ia makan daging burung atau makan macam-macam makanan, yang belum dapat dicerna oleh perut besarnya. Hal ini akan dapat membahayakannya.
Kedua, ilmu-ilmu yang terpuji baik sedikit maupun banyak, yaitu ilmu yang erat kaitannya dengan peribadatan dan macam-macamnya, seperti ilmu yang berkaitan dengan kebersihan diri dari cacat dan dosa serta ilmu yang dapat menjadi bekal bagi seseorang untuk mengetahui yang baik dan melaksanakannya, ilmu-ilmu yang mengajarkan manusia tentang cara-cara mendekatkan diri kepada Allah dan melakukan sesuatu yang diridlai-Nya, serta dapat membekali hidupnya di akhirat.
Terhadap ilmu model kedua Al-Ghazali membaginya kepada dua bagian. Pertama, wajib 'aini dan wajib kifayah. Selanjutnya al-Ghazali mengatakan bahwa di antara para ulama masih terdapat perbedaan pendapat mengenai ilmu yang tergolong wajib ini. Ada yang mengatakan, bahwa ilmu yang wajib dipelajari itu adalah mengenai zat dan sifat-sifat-Nya. Yang lain lagi mengatakan bahwa ilmu yang wajib itu adalah ilmu fiqih, sebab dengan ilmu ini seseorang akan mengetahui masalah ibadah, mengenai yang halal dan haram, baik yang menyangkut tingkah-laku secara umum, ataupun yang menyangkut bidang mu'amalah. Sementara itu yang lain meman-dang bahwa ilmu yang wajib itu adalah ilmu al-Qur'an dan As-Sun-nah, karena dengan mengetahui al-Qur'an dan As-Sunnah tersebut seseorang dapat mengenai agama dengan baik, dan dapat semakin dekat kepada Tuhan.
Sementara Al-Ghazali sendiri memandang bahwa ilmu-ilmu yang yajib 'aini bagi setiap Muslim itu adalah ilmu-ilmu agama dengan segala jenisnya, mulai dari kitab Allah, ibadat yang pokok seperti shalat, puasa, zakat dan sebagainya. Bagi Al-Ghazali, ilmu yang wajib 'aini itu adalah ilmu tentang cara mengamalkan amalan yang wajib. Jadi siapa yang mengetahui ilmu yang wajib itu, maka ia akan mengetahui kapan waktu wajibnya.
Sedangkan ilmu-ilmu yang termasuk fardlu kifayah adalah semua ilmu yang mungkin diabaikan untuk kelancaran semua urusan, seperti ilmu kedokteran yang menyangkut keselamatan tubuh atau ilmu hitung yang sangat diperlukan dalam hubungan mu'amalah,
Pembagian wasiat dan warisan dan lain sebagainya. Ilmu-ilmu itu jika tidak ada seorangpun dari suatu penduduk yang menguasainya, maka berdosa seluruhnya. Sebaliknya jika telah ada salah seorang yang menguasai dan dapat mempraktekkannya maka ia sudah dianggap cukup dan tuntutan wajibnya pun lepas dari yang lain. Dengan demikian, ilmu yang wajib kifayah ini adalah setiap ilmu yang tak dapat ditinggalkan dalam kehidupan masyarakat, karena apabila sebagian anggota masyarakat telah menguasainya, maka masyarakat lainnya terlepas dari tuntutan kewajiban, sebab keperluan masyarakat telah terpenuhi oleh sebagian anggotanya. Di antara contoh-contoh ilmu yang wajib kifayah itu adalah ilmu kedokteran dan ilmu hitung. Menurutnya bahwa masyarakat tanpa ilmu ini adalah masyarakat yang tidak sehat. Al-Ghazali juga menilai tentang adanya bidang pekerjaan yang termasuk ke dalam kelompok wajib kifayah, seperti ilmu pertanian, menenun, administrasi dan jahit-menjahit.
Ketiga, ilmu-ilmu yang terpuji dalam kadar tertentu, atau se-dikit, dan tercela jika dipelajarinya secara mendalam, karena dengan mempelajarinya secara mendalam itu dapat menyebabkan terjadinya kekacauan dan kesemrawutan antara keyakinan dan ke-raguan, serta dapat pula membawa kepada kekafiran, seperti ilmu filsafat. Mengenai ilmu filsafat dibagi oleh Al-Ghazali menjadi ilmu matematika, ilmu-ilmu logika, ilmu Ilahiyat, ilmu fisika, ilmu politik dan ilmu etika.
3. Metode Pengajaran
Perhatian Al-Ghazali dalam bidang metode ini lebih ditujukan pada metode khusus bagi pengajaran agama untuk anak-anak. Untuk ini ia telah mencontohkan sebuah metode keteladanan bagi mental anak-anak, pembinaan budi pekerti dan penanaman sifat-sifat keutamaan pada diri mereka. Perhatian Al-Ghazali akan pendidikan agama dan moral ini sejalan dengan kecenderungan pendi-dikannya secara umum, yaitu prinsip-prinsip yang berkaitan secara khusus dengan sifat yang harus dimiliki oleh seorang guru dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini mendapatkan perhatian khusus dari Al-Ghazali, karena berdasar pada prinsipnya yang mengatakan bahwa pendidikan adalah sebagai kerja yang memerlukan hu-bungan yang erat antara dua pribadi, yaitu guru dan murid. Dengan demikian faktor keteladanan yang utama menjadi bagian dari metode pengajaran yang amat penting.
Tentang pentingnya keteladanan utama dari seorang guru tersebut di atas, juga dikaitkan dengan pandangannya tentang pe-kerjaan mengajar. Menurutnya mengajar adalah pekerjaan yang paling mulia dan sekaligus sebagai tugas yang paling agung. Pendapatnya ini, ia kuatkan dengan beberapa ayat Al-Qur'an dan hadits Rasulullah SAW., serta pengulangan berkali-kali tentang tingginya status guru yang sejajar dengan tugas kenabian. Lebih lanjut al-Ghazali mengatakan bahwa wujud yang termulia di muka bumi ini adalah manusia, dan bagian inti manusia yang termulia adalah hatinya. Guru bertugas menyempurnakan, menghias, mensucikan dan menggiringnya mendekati Allah SWT. Dengan demikian, mengajar adalah bentuk lain pengabdian manusia kepada Tuhan dan menjunjung tinggi perintah-Nya. Menurutnya Allah telah menghiasi hati seorang alim dengan ilmu yang merupakan sifat-Nya yang paling khusus. Seorang alim adalah pemegang kas, ia bukan pemilik kas dalam sistem perbendaharaan. Ia dibenarkan berbe-lanja dengan uang kas itu untuk siapa saja yang memerlukannya. Kiranya tidak ada lagi martabat yang lebih tinggi dari pada sebagai perantara antara Tuhan dengan makhluk-Nya dalam mendekat-kannya kepada Allah, dan menggiringnya kepada surga tempat tinggal tertinggi.
4. Kriteria Guru Yang Baik
Sejalan dengan uraian tersebut di atas, Al-Ghazali sampai pada uraian mengenai kriteria guru yang baik. Menurutnya bahwa guru yang dapat diserahi tugas mengajar adalah guru yang selain cerdas dan sempuma akalnya, juga guru yang baik akhlaknya dan kuat fisiknya. Dengan kesempumaan akal ia dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, dan dengan akhlaknya yang baik ia dapat menjadi contoh dan teladan bagi para muridnya, dan dengan kuat fisiknya ia dapat melaksanakan tugas mengajar, mendidik dan mengarahkan anak-anak muridnya.
Selain sifat-sifat umum yang harus dimiliki guru sebagaimana disebutkan di atas, seorang guru juga harus memiliki sifat-sifat khu-sus atau tugas-tugas tertentu sebagai berikut :
Pertama, kalau praktek mengajar dan penyuluhan sebagai keahlian dan profesi dari seorang guru, maka sifat terpenting yang harus dimilikinya adalah rasa kasih sayang. Sifat ini dinilai penting ka-rena akan dapat menimbulkan rasa percaya diri dan rasa tenteram pada diri murid terhadap gurunya. Hal ini pada gilirannya dapat menciptakan situasi yang mendorong murid untuk menguasai ilmu yang diajarkan oleh seorang guru.
Kedua, karena mengajarkan ilmu merupakan kewajiban agama bagi setiap orang yang alim (berilmu), maka seorang guru tidak boleh menuntut upah atas jerih payahnya mengajarnya itu. Seorang guru harus meniru Rasulullah SAW. yang mengajar ilmu hanya karena Allah, sehingga dengan mengajar itu ia dapat mendekatkan dirinya kepada Allah SWT. Demikian pula seorang guru tidak dibe-narkan minta dikasihani oleh muridnya, melainkan sebaliknya ia harus berterima kasih kepada muridnya atau memberi imbalan kepada muridnya apabila ia berhasil membina mental. Murid telah memberi peluang kepada guru untuk dekat pada Allah SWT. Namun hal ini bisa terjadi jika antara guru dan murid berada dalam satu tempat, ilmu yang diajarkannya terbatas pada ilmu-ilmu yang sederhana, tanpa memerlukan tempat khusus, sarana dan lain sebagainya. Namun jika guru yang mengajar harus datang dari tempat yang jauh, segala sarana yang mendukung pengajaran harus dibeli dengan dana yang besar, serta faktor-faktor lainnya harus diupayakan dengan dana yang tidak sedikit, maka akan sulit dilakukan kegiatan pengajaran apabila gurunya tidak diberikan imbalan kesejahteraan yang memadai.
Ketiga, seorang guru yang baik hendaknya berfungsi juga sebagai pengarah dan penyuluh yang jujur dan benar di hadapan murid-muridnya. Ia tidak boleh membiarkan muridnya mempelajari pelajaran yang lebih tinggi sebelum ia menguasai pelajaran yang sebelumnya. Ia juga tidak boleh membiarkan waktu berlalu tanpa peringatan kepada muridnya bahwa tujuan pengajaran itu adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT, dan bukan untuk mengejar pangkat, status dan hal-hal yang bersifat keduniawian. Seorang guru juga tidak boleh tenggelam dalam persaingan, perselisihan dan pertengkaran dengan sesama guru lainnya.
Keempat, dalam kegiatan mengajar seorang guru hendaknya menggunakan cara yang simpatik, halus dan tidak menggunakan kekerasan, cacian, makian dan sebagainya. Dalam hubungan ini seorang guru hendaknya jangan mengekspose atau menyebarluaskan kesalahan muridnya di depan umum, karena cara itu dapat menyebabkan anak murid memiliki jiwa yang keras, menentang, membangkang dan memusuhi gurunya. Dan jika keadaan ini terjadi dapat menimbulkan situasi yang tidak mendukung bagi terlaksananya pengajaran dengan baik.
Kelima, seorang guru yang baik juga harus tampil sebagai teladan atau panutan yang baik di hadapan murid-muridnya. Dalam hubungan ini seorang guru harus bersikap toleran dan mau menghargai keahlian orang lain. Seorang guru hendaknya tidak mencela ilmu-ilmu yang bukan keahlian atau spesialisasinya. Kebiasaan seorang guru yang mencela guru ilmu fiqih, dan guru ilmu fiqih mencela guru hadits dan tafsir, adalah guru yang tidak baik.( A1-Ghazali, tt : 50).
Keenam, seorang guru yang baik juga harus memiliki prinsip mengakui adanya perbedaan potensi yang dimiliki murid secara individual, dan memperlakukannya sesuai dengan tingkat perbedaan yang dimiliki muridnya itu. Dalam hubungan ini, Al-Ghazali menasehatkan agar guru membatasi diri dalam mengajar sesuai dengan batas kemampuan pemahaman muridnya, dan ia sepantasnya tidak memberikan pelajaran yang tidak dapat dijangkau oleh akal muridnya, karena hal itu dapat menimbulkan rasa antipati atau merusak akal muridnya.
Ketujuh, seorang guru yang baik menurut Al-Ghazali adalah guru yang di samping memahami perbedaan tingkat kemampuan dan kecerdasan muridnya, juga memahami bakat, tabi'at dan kejiwa-an muridnya sesuai dengan tingkat perbedaan usianya. Kepada mu-rid yang kemampuannya kurang, hendaknya seorang guru jangan mengajarkan hal-hal yang rumit sekalipun guru itu menguasainya. Jika hal ini tidak dilakukan oleh guru, maka dapat menimbulkan rasa kurang senang kepada guru, gelisah dan ragu-ragu.
Kedelapan, seorang guru yang baik adalah guru yang berpegang teguh kepada prinsip yang diucapkannya, serta berupaya un-tuk merealisasikannya sedemikian rupa. Dalam hubungan ini al-Ghazali mengingatkan agar seorang guru jangan sekali-kali melakukan perbuatan yang bertentangan dengan prinsip yang dikemukakannya. Sebab jika hal itu dilakukan akan menyebabkan seorang guru kehilangan wibawanya. Ia akan menjadi sasaran penghinaan dan ejekan yang pada gilirannya akan menyebabkan ia kehilangan kemampuan dalam mengatur murid-muridnya. Ia tidak akan mampu lagi mengarahkan atau memberi petunjuk kepada murid-muridnya.
Dari delapan sifat guru yang baik sebagaimana dikemukakan di atas, tampak bahwa sebagiannya masih ada yang sejalan dengan tuntutan masyarakat modern. Sifat guru yang mengajarkan pelajaran secara sistematik, yaitu tidak mengajarkan bagian berikutnya sebelum bagian terdahulu dikuasai, memahami tingkat perbedaan kejiwaan dan kemampuan intelektual para siswa, bersikap simpatik, tidak menggunakan cara-cara kekerasan, serta menjadi pribadi panutan dan teladan adalah sifat-sifat yang tetap sejalan dengan tuntutan masyarakat modern.
5. Sifat Murid Yang Baik
Sejalan dengan tujuan pendidikan sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT., maka belajar termasuk ibadah. Dengan dasar pemikiran ini, maka seorang murid yang baik, adalah murid yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
Pertama, seorang murid harus berjiwa bersih, terhindar dari budi pekerti yang hina dina dan sifat-sifat tercela lainnya. Sebagaimana halnya shalat, maka menuntut ilmu pun demikian pula. Ia harus dilakukan dengan hati yang bersih, terhindar dari hal-hal yang jelek dan kotor, termasuk di dalamnya sifat-sifat yang rendah seperti marah, sakit hati, dengki, tinggi hati, 'ujub, takabur dan sebagainya.
Kedua, seorang murid yang baik, juga harus menjauhkan diri dari persoalan-persoalan duniawi, mengurangi keterikatan dengan dunia, karena keterikatan kepada dunia dan masalah-masalahnya dapat mengganggu lancamya penguasaan ilmu. Hal ini terlihat dalam ucapan Al-Ghazali yang mengatakan: "bahwa ilmu itu tidak akan memberikan sebagian dirinya kepadamu sebelum engkau memberikan seluruh dirimu kepadanya, dan jika engkau memberikan seluruh dirimu kepadanya, maka ilmu pun pasti akan memberikan sebagian dirinya kepadamu. Pikiran yang dibagi-bagikan untuk hal-hal yang berbeda-beda sama halnya dengan anak sungai yang dibagi-bagi ke dalam beberapa cabang. Sebagian airnya diserap oleh tanah dan sebagian lagi menguap ke udara, sehingga tidak ada lagi yang tinggal untuk digunakan pada pertanian."
Ketiga, seorang murid yang baik hendaknya bersikap rendah hati atau tawadlu. Sifat ini begitu amat ditekankan oleh Al-Ghazali. Al-Ghazali menganjurkan agar jangan ada murid yang merasa lebih besar daripada gurunya, atau merasa ilmunya lebih hebat daripada ilmu gurunya. Murid yang baik harus menyerahkan persoalan ilmu kepada guru, mendengarkan nasehat dan arahannya sebagaimana pasien yang mau mendengarkan nasehat dokternya.
Keempat, khusus terhadap murid yang baru hendaknya jangan mempelajari ilmu-ilmu yang saling berlawanan, atau pendapat yang saling berlawanan atau bertentangan. Seorang murid yang baru hendaknya tidak mempelajari aliran-aliran yang berbeda-beda, atau terlibat dalam berbagai perdebatan yang membingungkan. Hal ini perlu diingat, karena murid yang bersangkutan belum siap memahami berbagai pendapat yang berbeda-beda itu, sehing-ga tidak terjadi kekacauan. Seharusnya pada tahap-tahap awal, seorang murid menguasai dan menekuni aliran yang benar yang dise-tujui oleh guru. Setelah itu, mungkin ia dapat menyertai perdebatan diskusi atau mempelajari aliran-aliran yang bertentangan.
Kelima, seorang murid yang baik hendaknya mendahulukan mempelajari yang wajib. Pengetahuan yang menyangkut berbagai segi (aspek) lebih baik daripada pengetahuan yang menyangkut hanya satu segi saja. Mempelajari Al-Qur'an misalnya harus didahulukan, karena dengan menguasai Al-Qur'an dapat mendukung pelaksanaan ibadah, serta memakami ajaran agama Islam secara keseluruhan, mengingat Al-Qur'an adalah sumber utama ajaran Islam. Hal ini sejalan dengan pendapat Al-Ghazali yang mengatakan bahwa ilmu-ilmu yang ada itu saling berkaitan dan berhubungan antara satu dengan yang lainnya, di mana biasa terjadi keawaman terhadap salah satunya lebih ringan dibandingkan terhadap ilmu lainnya.
Keenam, seorang murid yang baik hendaknya mempelajari ilmu secara bertahap. Seorang murid dinasehatkan agar tidak men-dalami ilmu secara sekaligus, tetapi memulai dari ilmu-ilmu agama clan menguasainya dengan sempurna. Setelah itu, barulah ia melangkah kepada ilmu-ilmu lainnya, sesuai dengan tingkat kepentingannya. Jika ia tidak mempunyai waktu untuk mendalaminya secara sempurna, maka seharusnya ia pelajari saja rangkumannya.
Ketujuh, seorang murid hendaknya tidak mempelajari satu disiplin ilmu sebelum menguasai disiplin ilmu sebelumnya. Sebab ilmu-ilmu itu tersusun dalam urutan tertentu secara alami, di mana sebagiannya merupakan jalan menuju kepada sebagian yang lain. Murid yang baik dalam belajarnya adalah yang tetap memelihara urutan dan pentahapan tersebut.
Kedelapan, seorang murid hendaknya juga mengenal nilai setiap ilmu yang dipelajarinya. Kelebihan dari masing-masing ilmu serta hasil-hasilnya yang mungkin dicapai hendaknya dipelajarinya dengan baik. Dalam hubungan ini Al-Ghazali mengatakan bahwa nilai ilmu itu tergantung pada dua hal, yaitu hasil dan argumentasinya. Ilmu agama misalnya berbeda nilainya dengan ilmu kedokteran. Hasil ilmu agama adalah kehidupan yang abadi, sedangkan hasil ilmu kedokteran adalah kehidupan yang sementara. Oleh karena itu ilmu agama kedudukannya lebih mulia daripada ilmu kedokteran. Contoh lain adalah ilmu hitung dan ilmu nujum. Ilmu hitung lebih mulia daripada ilmu nujum, karena dalilnya lebih kuat dan teguh daripada dalil ilmu nujum. Selanjutnya jika ilmu kedokteran dibandingkan dengan ilmu hitung, maka tergantung dari sudut mana melihatnya.
E. PENUTUP
Islam sebagai agama yang membawa misi rahmat bagi seluruh alam memerlukan sarana untuk menerapkannya secara efektif dan efisien. Sarana tersebut salah satunya adalah pendidikan. Dengan demikian, pendidikan yang diterapkan harus bertolak dari kerangka dan visi ajaran Islam tersebut. Dengan ini, maka seluruh aspek yang terkait dengan pendidikan, mulai dari tujuan, kurikulum, guru, metode dan lainnya harus tetap didasarkan pada misi ajaran Islam tersebut.
Dalam perjalanannya yang cukup panjang, ummat Islam telah mengembangkan kegiatan pendidikan mulai dari tingkat dasar sampai dengan tingkat perguruan tinggi. Dari upaya ini telah banyak dilahirkan para ilmuwan ensiklopedik yang karya-karyanya masih dapat kita jumpai hingga sekarang dalam berbagai ilmu pengetahuan, baik ilmu agama maupun ilmu non-agama dengan berbagai cabang-nya. Munculnya para ilmuwan yang demikian, sudah dapat dipastikan karena adanya konsep dan sistem pendidikan yang beroperasi di dalamnya.
Pemikiran para pakar menunjukkan dengan jelas bahwa masalah pendidikan adalah masalah yang universal, dalam arti akan ada pada setiap bangsa dan setiap zaman. Kajian terhadap masalah pendidikan tidak akan berakhir, mengingat zaman selalu berkembang, dan tuntutan masyarakat terhadap pendidikan juga terus berkembang.
Tanggung jawab para kaum intelektual Muslim terhadap bidang pendidikan sebagaimana dikemukakan dalam pembahasan makalah ini, tampaknya perlu ditindak lanjuti demi kemajuan ummat manusia. Untuk itu kajian terhadap masalah pendidikan dan upaya menerapkannya merupakan tuntutan yang tidak dapat ditawar-tawar.
Kini kita membutuhkan adanya konsep pendidikan yang dapat menghasilkan lulusan yang unggul yang mampu eksis secara fungsional di tengah-tengah masyarakat yang semakin penuh per-saingan. Hasil Pemikiran dan konsep para pakar yang telah dijelasakan dalam makalah ini, tampaknya perlu dijadikan bahan renungan untuk selanjutnya dipikirkan kemungkinan pelaksanaannya, apabila dalam pemikiran mereka itu masih ada yang cocok untuk diterapkan di masa sekarang.
DAFTAR PUSTAKA
Abd ar-Rahman Badawi dalam M.M. Syarif, (ed.), A History of Muslim Philosophy, (Weisbaden: Otto Harrosowitz, 1963), Vol. I.
Abd al-Halim Mahmud, At-Tafkir al-Falsafi fi al-lslam, Beirut: Dar al-Kitab al-Lubrani, 1982.
Ahmad Amin, Zhur Islam, Kairo, TP, 1962, Vol. II, cet. Ill.
Ahmad Abd al-Hamid as-Sya'ir, Manabij al-Bahs al-Khuluqi fi al-Fikr al-hlami, Kairo, Dar al-Thiba'at al-Muhammadiyat, 1979, cet. I, him. 216.
Al-Syaibany, Umar Muhammad al-Toumy, Al-Usus al-Nafsiyyat wa al-Tarbiyyat Li Ri 'ayatal-Syabab, Kahirat, Dar al-Ma'arif, 1966.
Baiquni, A., Islam dan Ilmu Pengetahuan Modern, Bandung, Pustaka Salman, 1983.
Barnadib, Imam, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta, IKIP-FKIP GAMA Press, 1984.
--------------------, Filsafat Pendidikan : Tinjauan Mengenai Beberapa Aspek dan Proses Pendidikan, Yogyakarta, Andi Offset, 1986.
B.H. Siddiqui, Miskawaih on the Purpose of Historiography dalam The Muslim World , USA, The Hartford Seminary Foundation, 1971, Vol. LXI, hlm.21.
Fathiyah Hasan Sulaiman, Aliran-aliran dalam pendidikan (Studi ten-tang Aliran Pendidikan Menurut Al-Ghazali), (terj.) Dr.H.S. Agil Husin Al-Munawar, MA. dan Hadri Hasan, MA., dari judul asli Kitab Mazahibfi at-Tarbiyab Bahtsun fi al-Mazbabi at-Tarbawy 'indAl-Ghazali, (Semarang: Toha Putra, 1993), cet. I
Garaudy, Roger, Mencari Agama Pada Abad XX, terj. H.M. Rasjidi, Jakarta, Bulan Bintang, 1986.
Ghazali, al, Ihya ulum ad-Din, Juz III, Beirut, Dar Al-fikr, tt
Hasan Tamim 'al-Muqadimah, Tahzib al-Akhlaq iva Tathhir al-A'raq, Beirut, Mansyurat Dar al-Maktabah al-Hayat, 1398 H.), cet. II.
H.M. Arifin, M.Ed., Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta; Bumi Aksafa, 1991), cet. I,
Ibn Miskawaih, Tabzib al-Akhlak, Beirut, Mansyurat Dar Maktabat al-Hayat, 1398 H.) cet.
James Legge (penterjemah), The Four Book: Confucian Analect, The Great Learning, The Doctrin of The Mean, and the Works of Mencius and Wing-Tsit Chan, A Source Book in Chinese Philosophy, New Jersey: Princenton University Press, 1963.
Langgulung, Hasan, Manusia dan Pendidikan, Jakarta, al-Husna, 1986.
------------------, Pendidikan dan Peradaban, Jakarta, al-Husna, 1986.
-------------------, Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta, Al-Husna, 1987.
-------------------, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke-21, Jakarta, al-Husna, 1989.
Muhammad Yusuf Musa, Falsafat al-Akhlak fi al-lslam, Kairo, Muassasat al-Khanji, 1963, cet.III.
Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1973.
Suriasumantri, Jujun S, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta, Sinar Harapan, 1991.
Tintus, Harold H., Marilyn S. Smith dan Richard T. Nolan, Persoalan-persoalan Filsafat, terj. H.M. Rasjidi, Jakarta, Bulan Bintang, 1984.
William R. Ottal, The Psychobiology of Mind, New Jersey: Lawrence Erlbaum Association, 1978
A. PENDAHULUAN
Falsafat sebagai pandangan hidup erat kaitannya dengan nilai tentang sesuatu yang dianggap benar. Jika falsafat itu dijadikan pandangan hidup oleh suatu masyarakat atau bangsa, maka mereka berusaha untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan yang nyata. Di sini falsafat sebagai pandangan hidup difungsikan sebagai tolok ukur bagi nilai-nilai tentang kebenaran yang harus dicapai.
Untuk mewujudkan nilai-nilai yang terkandung dalam falsafat atau pandangan hidup dilakukan dengan berbagai cara. Salah satu diantaranya adalah melalui pendidikan. Dengan demikian suatu falsafat bagi masyarakat atau bangsa berkaitan erat dengan sistem pendidikan yang dirancang.
Falsafat hidup, dalam hubungannya dengan sistem pendidikan bagaimanapun mempunyai jalinan hubungan timbal balik. Falsafat hidup yang diyakini sebagai suatu yang dianggap benar, pada tahap awal pada dasarnya merupakan suatu konsep pemikiran yang menjadi dasar dan tujuan yang dicita-citakan. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut kemudian diusahakan agar nilai-nilai kebenaran yang terkandung di dalamnya dikaitkan dengan berbagai kegiatan dan aspek kehidupan seperti politik, ekonomi, sosial, hukum maupun pendidikan. Dengan kata lain, dalam penerapannya, falsafat hidup dijadikan dasar dan tujuan dari setiap aspek kegiatan masyarakat atau bangsa yang menganutnya. Maka menjadilah falsafat tadi sebagai kerangka acuan dalam bidang masing-masing sebagai falsafat politik, falsafat ekonomi, falsafat hukum, falsafat sosial dan falsafat pendidikan.
Dalam kaitan ini dapat dilihat hubungan antara falsafat hidup dengan sistem pendidikan ataupun dengan sistem-sistem lainnya dalam suatu masyarakat atau negara, sesuai dengan pandangan hidup yang mereka anut masing-masing, sebagai suatu nilai yang mereka anggap memiliki nilai-nilai tentang kebenaran. Falsafat atau pandangan hidup merangkum dasar dan tujuan dari suatu sistem, termasuk di dalamnya sistem pendidikan.
Adapun Islam, sebagai suatu konsep ajaran yang diyakini memiliki nilai-nilai tentang kebenaran oleh penganutnya (muslimin), pada dasarnya juga merupakan falsafat dan pandangan hidup mereka. Lebih jauh, sebagai konsep Ilahiyyat, ajaran Islam menurut pandangan muslim mengandung kebenaran yang hakiki. Keyakinan ini mendorong kaum muslimin untuk menjadikan sumber ajaran Islam yang termuat dalam al-Quran dan hadits sebagai dasar dan tujuan untuk mewujudkan suatu tatanan kehidupan yang Islami. Tatanan tersebut diupayakan agar terwujud dalam berbagai aspek kehidupan dalam bentuk sistem yang terpadu.
Dengan demikian, sistem pendidikan sebagai bagian dari tatanan kehidupan yang dicita-citakan itu, pada hakikatnya tak mungkin terlepas dari keterkaitannya dengan ajaran Islam itu scndiri. Sistem pendidikan Islam baru dapat dinilai Islami, hanyalah kalau secara serasi dan konsisten dapat diwujudkan sesuai dengan konsep ajaran al-Quran dan hadits, yang menjadi dasar dan tujuan hidup muslim. Dengan kata lain, pandangan hidup muslim seperti yang termuat dalam ajaran al-Quran dan hadits juga adalah menjadi falsafat pendidikan Islam. Adanya hubungan timbal balik seperti ini menyebabkan sistem pendidikan Islam tak mungkin dipisahkan dengan falsafat dan pandangan hidup muslim itu sendiri.
Kajian falsafat pendidikan Islam beranjak dari kajian falsafat pendidikan yang termuat dalam al-Quran dan hadits yang telah diterapkan oleh Nabi Muhammad SAW. selama hayat beliau, baik selama periode Mekkah maupun selama periode Madinah. Falsafat pendidikan Islam yang lahir bersamaan dengan turunnya wahyu pertama itu telah meletakkan dasar kajian yang kokoh, mendasar, menyeluruh serta terarah ke suatu tujuan yang jelas, yaitu sesuai dengan tujuan ajaran Islam itu sendiri.
Mungkin karena adanya tujuan yang tunggal itu pula, maka adakalanya orang berpendapat bahwa Islam belum memiliki falsafat dan sistem pendidikan yang berdiri sendiri sebagai sebuah disiplin ilmu. Keberatan ini, barangkali muncul karena didasarkan atas penilaian bahwa kerangka dasar falsafat dan pendidikan Islam bersumber dari wahyu, bukan dari hasil pemikiran murni manusia (rasio), sebagai layaknya prinsip-prinsip keilmuan yang berlaku di kalangan ilmuwan. Paling tidak penalaran yang merupakan proses berpikir dalam menarik suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan menurut paradigma ilmuwan harus didasarkan atas ciri-ciri tertentu. Berpikir untuk menemukan pengetahuan yang benar didasarkan pada logika tertentu. Selain itu kegiatan berpikir harus disandarkan pada cara berpikir yang bersifat analitik. Dengan demikian berpikir ilmiah yang memungkinkan manusia untuk menemukan kebenaran ilmiah adalah berpikir secara analitis yang mempergunakan logika ilmiah (Jujun Suriasumantri, 1990).
Berpikir yang mengandalkan wahyu sebagai sumber kebenaran dinilai sebagai kegiatan berpikir yang non analitik karena tidak mendasarkan kepada pola berpikir tertentu. Berpikir seperti ini dipandang sebagai berpikir yang intuitif. Dalam berpikir intuitif ini manusia berada pada posisi yang pasif. Padahal yang dikehendaki oleh ilmu pengetahuan adalah hasil pemikiran berupa kesimpulan sebagai produk dari usaha aktif manusia dalam menemukan kebenaran, bukan pengetahuan yang dianugerahkan (Tuhan).
Dari sinilah tampaknya munculnya persimpangan arah yang membedakan pendapat antara kebenaran ilmiah dengan kebenaran agama. Kebenaran ilmiah berdasarkan kebenaran yang bersumber dari rasio dan fakta, sedangkan kebenaran agama bersumber dari keyakinan. Walaupun sebenarnya para ilmuwan pun mengakui berpikir intuitif sulit untuk dilepaskan dari sumber kebenaran. Sebab secara implisit diakui wahyu dan intuisi adalah juga sumber pengetahuan (Jujun, 1991:266).
Adapun pokok bahasan dalam makalah ini dititikberatkan pada beberapa masalah yang menyangkut pemikiran tentang falsafat pendidikan Islam, yaitu :
(1) Arti, dasar dan tujuan falsafat pendidikan Islam
(2) Metode mempelajari falsafat pendidikan Islam
(3) Manusia menurut Filsafat pendidikan Islam
(4) Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam
A. Arti, Dasar Dan Tujuan Falsafat Pendidikan Islam
Falsafat pendidikan Islam terbentuk dari perkataan falsafat, pendidikan dan Islam. Penambahan kata Islam di akhir gabungan kata tersebut dimaksudkan untuk membedakan falsafat pendidikan Islam dari pengertian yang terkandung dalam falsafat pendidikan secara umum. Dengan demikian falsafat pendidikan Islam mempunyai pengertian khusus yang ada kaitannya dengan ajaran Islam.
Selanjutnya untuk menjelaskan pengertian mengenai falsafat pendidikan Islam secara utuh, agaknya ketiga kata yang tergabung dalam konsep tadi perlu dijelaskan. Melalui uraian seperti itu diharapkan akan lebih memperjelas makna yang terkandung atau yang dimaksud dengan falsafat pendidikan Islam.
1. Falsafat Pendidikan Dan Falsafat Pendidikan Islam
Kata falsafat (filsafat) tampaknya memang sulit untuk diartikan secara tepat. Makna yang tercakup dalam pengertiannya sampai sekarang telah dikembangkan berdasarkan sudut pandang mereka yang menafsirkannya.
Adapun pengertian falsafat itu sendiri menurut asal katanya adalah "cinta akan kebenaran", yang diambil dari kosa kata bahasa Yunani philos (cinta) dan sophia (kebenaran) (Hasan Shadily, 1980). Yang dimaksud dengan "kebenaran" adalah kebenaran yang didasarkan atas penilaian menurut nalar manusia. Karena itu "kebenaran" menurut Plato dan Aristoteles adalah apabila "pernyataan yang dianggap benar itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan sebelumnya" (Jujun, 1990).
Kebenaran yang seperti itu tampaknya bersifat relatif. Sebab bagaimanapun penilaian mengenai sesuatu yang dianggap benar sangat tergantung kepada ruang dan waktu. Apa yang dianggap benar oleh suatu masyarakat atau bangsa, belum tentu akan dinilai sebagai suatu kebenaran oleh masyarakat atau bangsa lain, walaupun dalam kurun waktu yang sama. Sebaliknya, sesuatu yang dianggap benar oleh suatu masyarakat atau bangsa tertentu dalam suatu zaman, akan berbeda pada zaman-zaman berikutnya. Makanya wajar jika pengertian falsafat itu sendiri mengalami perubahan. Belum ada kesepakatan bersama antara para filosof mengenai apa yang dimaksud dengan falsafat itu sendiri. Masing-masing berhak dan berusaha untuk mengemukakan pendapatnya.
Socrates (470-399 S.M.) mengatakan berfalsafat merupakan cara berpikir yang radikal, menyeluruh dan mendasar (Jujun, 1990). Di zaman Socrates, di Yunani, falsafat belum menjadi disiplin ilmu yang otonom melainkan merupakan suatu tata cara yang diaplikasikan dalam kehidupan. Falsafat adalah suatu cara hidup yang konkret, suatu pandangan hidup yang total tentang manusia dan alam yang menyinari seluruh kehidupan manusia (Titus, Smith dan Nolan, 1984).
Selanjutnya sejalan dengan perkembangan peradaban manusia dan problema kehidupan yang dihadapinya, maka pengertian teoritis, seperti yang berkembang di zaman Yunani, secara berangsur kehilangan kemampuannya untuk memberikan jawaban secara utuh dan memuaskan tentang kebenaran. Selanjutnya perkembangan peradaban itu sendiri telah memberi peluang kepada manusia untuk melakukan loncatan besar dalam bidang sains, teknologi, kedokteran, ilmu-ilmu sosial dan pendidikan (Tintus, Smith dan Nolan, 1984).
Adanya perkembangan dan perubahan yang terjadi mendorong manusia untuk memikirkan kembali mengenai pengertiannya tentang nilai-nilai kebenaran. Sebab setiap terjadi perubahan dalam suatu peradaban, bagaimanapun akan mempengaruhi sistem nilai yang ada. Makanya antara perubahan peradaban dan cara berpikir manusia senantiasa terdapat hubungan timbal balik.
Perubahan yang terjadi dalam adat, kebiasaan dan sejarah, lazimnya dimulai dengan adanya (muncul) sekelompok orang yang yakin akan nilai sesuatu yang ideal atau tertarik kepada pandangan hidup yang lain (Titus, Smith dan Nolan, 1984). Dengan demikian adalah merupakan hal yang wajar jika pandangan masing-masing mengenai nilai-nilai kebenaran jadi berbeda. Sehingga muncul pendapat-pendapat lain (baru) tentang apa yang disebut kebenaran, sesuai dengan pandangan mereka masing-masing.
Selanjutnya dalam pengertian yang lebih luas Harold Titus mengemukakan lima pengertian mengenai falsafat. Mungkin dengan pengertian ini dimaksudkannya untuk menunjukkan betapa sulitnya untuk merangkum pengertian falsafat itu dalam sebuah definisi yang lengkap. la mengemukakan pengertian falsafat sebagai berikut :
Falsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara kritis.
Falsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat kita junjung tinggi.
Falsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan.
Falsafat adalah analisa logis dari bahasan serta penjelasan tentang arti kata dan konsep.
Falsafat adalah sekumpulan problema-problema yang langsung mendapat perhatian dari manusia dan yang dicarikan jawabannya oleh ahli falsafat (Titus, 1984, 11-14).
Karena pemikiran yang bersifat falsafi didasarkan atas pemikiran yang bersifat spekulatif, maka nilai-nilai kebenaran yang dihasilkannya juga tak terhindar dari kebenaran yang spekulatif. Hasilnya akan sangat tergantung dari pandangan para filosof itu masing-masing. Karena itu pendapat yang baku dan diterimaoleh semua pihak, agaknya sulit dapat diwujudkan. Walaupun menurut Harun Nasution intisari dari falsafat itu sendiri ialah berpikir menurut tata tertib (logika) dengan bebas (tidak terikat pada tradisi, dogma dan agama) dan dengan sedalam-dalamnya sehingga sampai ke dasar-dasar persoalan (Harun Nasution, 1973). Cara berpikir serupa itu menurut Jujun S. Suriasumantri, sebagai karakteristik dari berpikir filosofis. la memandang berpikir falsafi merupakan cara berpikir yang mendasar, menyeluruh dan speku-latif (Jujun, 1980).
Dalam kaitannya dengan pengertian tersebut, Imam Barnadib memandang falsafat sebagai pandangan yang menyeluruh dan sistematis. Dikatakan menyeluruh karena falsafat bukan hanya sekedar pengetahuan, melainkan suatu pandangan yang dapat menembus sampai di balik pengetahuan itu sendiri. Selanjutnya melalui pandangan yang demikian terbuka kemungkinan untuk menemukan hubungan dan pertalian antara semua unsur yang dipertinggi, dengan mengarahkan perhatian dan kedalaman mengenai kebijakan. Dikatakan sistematis karena falsafat menggunakan berpikir secara sadar, teliti dan teratur, sesuai dengan hukum-hukum yang ada (Imam Barnadib, 1982).
Pemikiran falsafi dapat dibedakan dengan pemikiran lain yang bukan falsafi. Pemikiran yang bersifat falsafat setidaknya memiliki ciri-ciri yang jelas. Antara lain berpikir falsafi tertuju kepada upaya untuk mengadakan pemeriksaan dan penemuan. kemudian berpikir falsafi bersifat radikal, mengarahkan pandangan pada mengapa yang terakhir (akhir dari segala sesuatu) dengan menggunakan kemampuan yang optimal dari akal budi manusia. Fakta yang terlihat adalah hasil tinjauan dan penelitian dalam kaitannya dengan suatu bentuk interpretasi dalam konteks dengan lingkungan yang lebih luas. Permasalahan yang menjadi kajian falsafat menyangkut nilai yang menentukan, mana yang paling baik untuk dijadikan pandangan hidup manusia. Dengan demikian berpikir falsafi menuju pada sasaran yang lebih luas, menjurus, total dan komprehensif. Berpikir yang demikian akan menjurus kepada masalah yang sempit (khusus) dan tinjauan yang mendalam (hakikat sesuatu).
Falsafat, karakteristiknya tidak memberi sarana-sarana, akan tetapi mengajukan pertanyaan tentang tujuan dan tentang makna-makna (Garaudy, 1986). Dalam pengertian sekarang, falsafat diartikan sebagai ilmu yang berusaha untuk memahami semua hal yang timbul di dalam keseluruhan ruang lingkup pengalaman manusia. Dengan demikian diharapkan agar manusia dapat mengerti dan mempunyai pandangan menyeluruh dan sistematis mengenai alam semesta dan tempat manusia di dalamnya. Yang di maksud dengan di dalamnya, adalah bahwa manusia merupakan kesatuan dari dunia. Dan dengan adanya manusia, tentu manusia itu mempunyai caranya berada (Harun Nasution, 1973).
Jelasnya, falsafat berhubungan dengan upaya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam berbagai lapangan kehidupan manusia. Jawaban merupakan hasil pemikiran yang sistematis, menyeluruh dan mendasar. Dan jawaban yang seperti itu, juga digunakan untuk memecahkan masalah-masalah yang menyangkut bidang pendidikan, yang disebut sebagai falsafat pendidikan.
Falsafat pendidikan, menurut John Dewey adalah teori umum dari pendidikan, landasan dari semua pemikiran umum mengenai pendidikan (Imam Barnadib, 1982). Falsafat pendidikan kata Imam Barnadib, adalah ilmu yang pada hakikatnya merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam lapangan pendidikan dan merupakan penerapan suatu analisa filosofis terhadap lapangan pendidikan (Imam Barnadib, 1986).
Lebih jauh, Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibany, melihat falsafat pendidikan adalah pelaksanaan pandangan falsafat dan kaidah falsafat dalam pengalaman manusia yang disebut pendidikan (al-Syaibany, 1979). Secara rinci dikemukakan bahwa falsafat pendidikan merupakan usaha untuk mencari konsep-konsep di antara gejala yang bermacam-macam meliputi: (1) proses pendidikan sebagai rancangan yang terpadu dan menyeluruh; (2) menjeiaskan berbagai makna yang mendasar tentang segala istilah pendidikan; dan (3) pokok-pokok yang menjadi dasar dari konsep pendidikan dalam kaitannya dengan bidang kehidupan manusia (al-Syaibany, 1973).
Seperti diketahui bahwa pendidikan dalam arti yang luas adalah, usaha untuk mengubah dan memindahkan nilai kebudayaan kepada setiap individu dalam suatu masyarakat (Hasan Langgulung, 1985). Dan proses seperti itu telah dilakukan manusia dari abad ke abad, menempuh alur perjalanan sejarah yang panjang dan berliku-liku. Pemikiran yang menyangkut bagaimana menciptakan suatu sistem pendidikan yang baik dan sesuai dengan tujuan yang akan dicapai telah dilakukan oleh para ahli didik di berbagai tempat di dunia.
Usaha yang telah dilakukan tersebut tampaknya belum dapat memberikan suatu kemantapan bagi usaha mengubah dan memindahkan nilai-nilai kebudayaan seperti yang dikehendaki. Dengan perkataan lain, sistem pendidikan yang benar-benar mapan dan dapat diterima secara universal,berisi nilai-nilai falsafi yang serasi dengan fitrah manusia dan tatanan masyarakat, masih belum ditemui. Nyatanya, hingga sekarang masih bermunculan berbagai hasil pemikiran mengenai pendidikan itu.
Kondisi yang seperti itu mendorong para pemikir pendidikan untuk terus bekerja, mengejar dan menyesuaikan diri dengan perubahan dan tuntutan zaman. Tapi usaha tersebut tampaknya mengalami hambatan. Dengan munculnya ide-ide nasionalisme, pemikiran tentang pendidikan cenderung mengarah kepada kepentingan bangsa. Makanya tak mengherankan jika pemikiran tersebut secara tak disadari menjadi lebih mengacu kepada kepentingan bangsa, hingga sistem pendidikan sudah merupakan pantul-an dari falsafat hidup dari suatu bangsa. Falsafat pendidikan tak lain dari juru bicara dari semangat bangsa masing-masing (Hasan Langgulung, 1985).
Dalam konteks umum terlihat bahwa sistem pendidikan (Barat) yang berkembang dan dikembangkan hingga saat ini bersifat nasional (terbatas kepada kepentingan untuk mencapai tujuan pendidikan negara masing-masing). Dan masing-masing negara memiliki falsafat sebagai landasan sistem pendidikannya. Kecenderungan ini mengakibatkan hasil pemikiran mengenai pendidikan menjadi terkotak-kotak. Sistem pendidikan belum berhasil memenuhi kepentingan dan kebutuhan umat manusia secara menyeluruh, sesuai dengan hakikatnya sebagai makhluk yang diciptakan oleh Penciptanya.
Hubungan antara falsafat dan pendidikan tampaknya kian tak mungkin dapat dipisahkan. Beranjak dari hubungan ini, kajian falsafat pendidikan terpaksa menoleh kembali kepada hakikat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Pertanyaan yang mengarah kepada pemikiran falsafat pendidikan yang menurut Jacques Maritain, berawal dari: "siapa kita, di mana kita, dan ke mana kita akan pergi (apa yang menjadi tujuan hidup kita), dikaji dalam konteks tujuan penciptaannya (D.J. O'Connor, 1967). Pemikiran falsafi mulai menerobos garis pemisah antara rasio dan wahyu.
Ketiga pertanyaan yang sederhana itu dikaitkan dengan fungsi dan hakikat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Dengan demikian pemikiran tentang manusia diarahkan kepada pertanyaan: apakah fungsi manusia, dengan tujuan apa ia diciptakan, apakah alam semesta diciptakan dengan tujuan tertentu, dan apakah manusia sebagai bagian dari alam semesta diciptakan oleh Tuhan juga punya tujuan tertentu? Dan untuk mengetahui tujuan penciptaan manusia, tentunya melalui agama. Karena hanyaagama yang dapat memberikan penjelasan tentang tujuan dan makna eksistensinya, jelas Maritain (D.J. O'Connor, 1967). Adapun ungkapan "Makna hidup" atau "makna eksistensi" padadasarnya memiliki pengertian metaporis (kiasan). Makna hidup bukan berarti "apa arti kehidupan" saja. Lebih dalam "makna hidup" menginginkan maksud tentang tujuan atau yang dikehendaki dalam hal-hal yang termuat atau dikandung oleh dasar hidup yang diatur, ditentukan dan diperintahkan oleh yang menciptanya. Meskipun pertanyaan ini tidak memberi jawaban, tetapi ia mendorong kita untuk sampai kepada pemikiran, dan bukan hanya sekedar berhenti pada mempermasalahkan pertanyaan (D.J. O' Connor, 1967). Dan agaknya makna inilah pula yang mendo-rong para filosof mengarahkan pandangan mereka kepada konsep-konsep agama. Falsafat adalah cinta kebijaksanaan, tetapi kebijaksanaan yang sebenarnya adalah Tuhan. Oleh karena itu cinta Tuhan adalah falsafat yang sebenarnya, kata Roger Garaudy. Pendapatyang senada juga dikemukakan oleh Mansorlbn Sarjoun dan Saint Jean de Damas (Roger Garaudy, 1986).
Falsafat pendidikan Islam yang bersumber dari wahyu, mengarah kepada pemikiran tentang kebenaran yang bersifat hakiki dan mutlak. Kebenaran yang sesungguhnya, bukan kebenaran yang relatif dan spekulatif, tergantung kepada ruang dan waktu, seperti yang dihasilkan oleh pemikiran falsafat rasionalis dan empiris, Karena itu dalam pendidikan Islam sebenarnya kata "falsafat" itu sendiri tidak dikenal. Menurut Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibany, yang dimaksud dengan "kebenaran" seperti yang dikehendaki falsafat itu, dalam Islam disebut "hikmat" (al-Syaibany, 1973).
Kebenaran seperti yang dikemukakan falsafat (umum) lebih konotasi kepada kemampuan daya nalar manusia, adapun hikmat bersifat Ilahiyyat. Hikmat menurutnya, adalah anugerah Tuhan. I )an barangsiapa yang diberi hikmat, maka ia telah diberikan kebaikan yang banyak (Q.2:269), merupakan kenyataan yang tak dapat dibantah (al-Syaibany, 1973).
Selanjutnya dikemukakan, bahwa hikmat tidak tergantung dari tingkatan akademis yang diperoleh seseorang. Hikmat dapat saja dimiliki oleh mereka yang tidak memiliki latar belakang pendidikan akademis secara formal. Hikmat dapat dianugerahkan kepada mereka yang memiliki kematangan pandangan, pemikiran yang jauh, pengamatan yang mendalam. Makanya hikmat, menurut al-Syaibany mengandung lima unsur, yaitu :
(1) Universal;
(2) Pandangan yang luas;
(3) Cerdik;
(4) Pandangan meditatif (renungan); dan
(5) Mengetahui pelaksanaan pengetahuan yang disertai tindakan yang baik (al-syaibany, 1973).
Pengertian falsafat seperti yang dikemukakan oleh al-Syaibany tersebut, jika dikaitkan dengan falsafat pendidikan Islam, pada hakikatnya adalah:
(1) Pelaksanaan pandangan dan falsafat dan kaidah falsafat Islam yang diterapkan di bidang pendidikan.
(2) Aktivitas pemikiran yang teratur, selaras dan terpadu dalam upaya menjelaskan nilai-nilai dan tujuan yang hendak dicapai, bersumber dari anugerah Tuhan.
Falsafat pendidikan Islam, seperti halnya falsafat pendidikan umum, juga harus mampu membuat suatu pedoman kepada perancang-perancang dan orang-orang yang bekerja dalam bidang pendidikan dan pengajaran (al-Syaibany, 1973). Dalam rinciannya, falsafat pendidikan Islam setidak-tidaknya harus mampu memberi manfaat bagi pendidikan Islam berupa :
(1) Membantu para perancang dan pelaksana pendidikan dalam membentuk pemikiran yang benar terhadap proses pendidikan.
(2) Memberi dasar bagi pengkajian pendidikan secara umum dan khusus.
(3) Menjadi dasar penilaian pendidikan secara menyeluruh.
(4) Memberi sandaran intelektual, bimbingan bagi pelaksana pendidikan untuk menghadapi tantangan yang muncul dalam bidang pendidikan, sebagai jawaban dari setiap permasalahan yang timbul dalam bidang pendidikan.
(5) Memberikan pendalaman pemikiran ten tang pendidikan dalam hubungannya dengan faktor-faktor spiritual, kebudayaan, sosial, ekonomi, politik dan berbagai aspek kehidupan lain-nya (al-Syaibany, 1973).
Kerangka pemikiran falsafat di atas memuat konsep tentang pendidikan. Di dalamnya termuat dasar dan tujuan pendidikan (1 dan 5), materi kurikulum (2,4, dan 5), metode yang digunakan (2) serta sistem evaluasi (3) dan juga hal-hal yang berkaitan dengan kelembagaan dan pelaksanaan pendidikan.
2. Dasar Dan Tujuan Falsafat Pendidikan Islam
Secara umum pendidikan mencakup suatu pengertian yang luas. Secara garis besarnya pengertian itu mencakup tiga aspek berupa:
a) Seperangkat teknik atau cara untuk memberikan pengetahuan, keterampilan dan tingkah laku.
b) Seperangkat teori yang maksudnya untuk menjelaskan dan membenarkan penggunaan teknik dan cara-cara tersebut.
c) Seperangkat nilai, gagasan atau cita-cita sebagai tujuan yang dijelmakan serta dinyatakan dalam pengetahuan, keterampilan dan tingkah laku, termasuk jumlah dan pola latihan yang harus diberikan (D.J. O'Connor, 1957).
Berangkat dari pemahaman tersebut, terlihat bahwa falsafat pendidikan Islam berupaya menyusun seperangkat nilai sebagai dasar berpijak dan tujuan yang akan dicapai secara jelas. Tanpa dasar sebagai landasan bagi pemikiran bagi falsafat pendidikan Islam, dikhawatirkan bangunan pemikiran yang dihasilkan tidak akan kokoh. Akibatnya akan menimbulkan kemungkinan bagi masuknya pemikiran-pemikiran falsafat yang bukan Islam.
Sebaliknya, tujuan yang jelas menjadi penting dalam pemikiran falsafat pendidikan Islam karena falsafat pendidikan Islam merupakan rancangan dari sistem perubahan Islam itu sendiri. Dengan adanya tujuan yang jelas dalam bentuk nilai-nilai kebenaran yang harus dicapai, maka dalam penyusunan suatu sistem pendidikan Islam yang sesuai dengan tujuan yang akan dicapai, akan menjadi jelas pula.
Dasar dan tujuan falsafat pendidikan Islam pada hakikatnya identik dengan dasar dan tujuan ajaran Islam atau tepatnya, tujuan Islam itu sendiri. Keduanya berasal dari sumber yang sama, yaitu al-Quran dan hadits. Dari kedua sumber ini kemudian timbul pemikiran-pemikiran mengenai masalah-masalah keislaman dalam berbagai aspek, termasuk falsafat pendidikan. Dengan demi-kian hasil pemikiran para ulama seperti qiyas syar'i dan ijma' sebagai sumber sekunder (al-Syaibany, 1973), pada dasarnya berasal dari kedua sumber pokok tadi (al-Quran dan hadits).
Ajaran yang termuat dalam wahyu merupakan dasar dari pemikiran falsafat pendidikan Islam. Hal ini menunjukkan falsafat pendidikan Islam yang berisi teori umum mengenai pendidikan Islam, dibina atas dasar konsep ajaran Islam yang termuat dalam al-Quran dan hadits. Keabsahan kedua sumber ajaran itu untuk dijadikan dasar pemikiran falsafat pendidikan Islam bukan tanpa alasan yang rasional. Pemikiran falsafat pendidikan Islam yang didasarkan atas ajaran wahyu tersebut pada hakikatnya sejalan dengan yang dikehendaki oleh berpikir falsafi, yakni mendasar, menyeluruh tentang kebenaran yang ditawarkannya.
Secara garis besarnya, yang menjadi dasar kajian falsafat pendidikan Islam seperti yang termuat dalam kandungan wahyu, adalah mengenai Pencipta (Allah), ciptaan-Nya (makhluk), hubungan antara ciptaan dengan Pencipta, serta hubungan antara sesama ciptaan-Nya, dan utusan yang menyampaikan risalah Pencipta (Rasul).
Dasar yang melandasi pemikiran falsafat tentang Pencipta mengacu kepada suatu konsep falsafat pendidikan bahwa segala sesuatu yang ada ini terwujud melalui ciptaan (creatio ex-nihilo) bukan terwujud dengan sendirinya. Karena itu segala bentuk ciptaan-Nya hidup dan menjalani tatanan kehidupan yang sudah diciptakan untuk itu. Tatanan sebagai konsep umum mengenai pengaturan alam, berdasarkan pemikiran tersebut adalah merupakan ketentuan Pencipta-Nya (Sunnat Allah), dan bukan ketentuan yang dipandang sebagai hukum alam (Nature's Law) semata.
Selanjutnya konsep tersebut memberi pemahaman bahwa sebagai ciptaan, makhluk bagaimanapun harus tunduk kepada yang Menciptakan. Sikap tunduk itu khusus bagi manusia diatur dalam konsep ibadah, sedangkan hubungan sosial antar sesama manusia diatur dalam konsep muamalah. Adapun konsep tersebut disampaikan kepada manusia melalui utusan Yang Maha Pencipta, yaitu para Rasul.
Konsep tentang Tuhan sebagai Pencipta, eksistensi, kekuasaan yang dimiliki serta masalah-masalah yang berhubungan dengan keberadaan-Nya, paling banyak termuat dalam al-Quran, sebagai wuhyu Allah. Dasar pemikiran yang muncul dalam melandasi pembinaan falsafat pendidikan Islam, adalah bahwa keberadaan Tuhan (Allah) sebagai Pencipta melahirkan konsep tentang kepatuhan sebagai bentuk hubungan yang dinilai benar. Hanya sikap patuh makhluk (ciptaan) kepada aturan yang dibuat Pencipta ini saja memiliki nilai tertinggi dalam kriteria "kebenaran". Sikap tersebut merupakan konsep tentang hubungan ciptaan dengan Pencipta, yakni sikap pengabdian diri.
Adanya ketentuan-ketentuan dasar wahyu yang dijadikan landasan pemikiran falsafat pendidikan Islam, ikut mempengaruhi dasar pandangan falsafat pendidikan Islam itu sendiri sehingga falsafat pendidikan Islam berbeda dari falsafat pendidikan lainnya (umum). Falsafat pendidikan Islam dalam kaitannya dengan pendidikan didasari oleh lima prinsip utama yaitu pandangan terhadap alam, pandangan terhadap manusia, pandangan terhadap masyarakat, pandangan terhadap pengetahuan manusia, dan pandangan terhadap akhlak (Hasan Langgulung, 1987).
Falsafat pendidikan memberi landasan dasar yang bersumber pada wahyu, sebagai nilai kebenaran yang tertinggi. Dengan demikian falsafat pendidikan Islam tergolong falsafat perenialis.
Adapun tujuan dari falsafat pendidikan Islam, sebagai yang dikemukakan di atas, adalah sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai oleh Islam itu sendiri, yaitu mencapai tingkat pengabdian yang paling tinggi. Konsep ini didasarkan kepada ajaran wahyu, yang secara hakiki disebut sebagai pengabdi yang setia kepada Penciptanya. Tujuan ini sejalan dengan tujuan penciptaan manusia (Q.51 : 56).
Sejalan dengan tujuan tersebut, maka falsafat pendidikan Islam berupaya menyiapkan kerangka dasar bagi tercapainya tujuan dimaksud melalui proses pendidikan. Dengan demikian dalam pelaksanaannya pendidikan Islam dituntut untuk menyelaraskan kegiatannya dengan tujuan itu. Langkah pertama paling tidak mempersiapkan konsep yang jelas mengenai pendidikan itu sendiri. Dan menurut Sayyed Naguib al-Attas, konsep yang tepat untuk memenuhi tujuan itu adalah ta'dib dan bukan tarbiyah, atau ta'lim.
Konsep tarbiyah mengandung pengertian yang terlalu umum. Pengertian itu meliputi upaya untuk memelihara, membela, menernak (binatang) dan tidak terbatas pada manusia semata. Oleh karena itu konsep tarbiyah memuat pengertian yang terlalu luas. Sebaliknya ta’lim terlalu sempit, karena hanya berhubungan dengan pengajaran.
Adapun ta'dib sudah mencakup pengertian tarbiyah dan ta'lim, namun khusus untuk pendidikan pada manusia. Selain itu ta'dib erat kaitannya dengan ajaran Islam yang menjadi isi pendidikan (S.M.N. al-Attas, 1989). Menempatkan tarbiyah dalam konsep pendidikan Islam menurut al-Attas adalah kurang tepat, dan penggunaan istilah itu dipengaruhi oleh kebutuhan untuk menyesuaikan makna pendidikan dengan konsep education (Barat). Dan pengaruh-pengaruh seperti itu menjalar dalam berbagai pengertian pendidikan, hingga pendidikan Islam akan kian menjauh dari semula.
Sebagai pembentuk teori umum mengenai sistem pendidikan, maka falsafat pendidikan Islam sangat penting. Falsafat pendidikan Islam berfungsi sebagai peletak dasar bagi kerangka (blue print) dari sistem pendidikan yang akan berfungsi sebagai cara untuk mengaplikasikan ajaran Islam dibidang pendidikan, dengan tujuan yang identik dengan tujuan yang akan dicapai oleh ajaran Islam itu sendiri.
Sebaliknya, jika pendidikan merupakan proses pelaksanaan pencapai tujuan itu, maka falsafat pendidikan Islam merupakan pedoman dari sistem yang harus ditelusuri oleh proses pelaksanaan itu sendiri. Falsafat pendidikan Islam dengan demikian berperan sebagai pembentuk nilai-nilai bagi pendidikan Islam.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka falsafat pendidikan islam berusaha meletakkan dasar pemikirannya pada tujuan yang memuat konsep tentang akhlak yang mulia, identik dengan konsep dari tugas kenabian yang diemban oleh Rasul, yaitu diutus untuk membina akhlak yang mulia (hadits).
Dua sasaran pokok yang juga termuat dalam tujuan falsafat pendidikan Islam adalah meletakkan dasar pemikiran sistem pendidikan yang berdimensi ganda. Dimensi pertama adalah untuk mencapai kesejahteraan hidup di dunia dan keselamatan hidup di ikhirat. Dimensi kedua berhubungan dengan fitrah kejadian manusia, yaitu sebagai pengabdi Allah yang setia.
Dimensi pertama berkaitan dengan tujuan pembentukan yang berdasarkan ruang dan waktu, maka dimensi kedua berdasarkan pada obyek pembentukan itu sendiri, yaitu manusia. Sesuai dengan hakikatnya, maka manusia harus dibimbing semaksimal mungkin, agar potensi yang diberikan kepadanya berupa jasmani, akal dan roh selaras dengan hakikat tersebut.
B. METODE MEMPELAJARI FALSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
Sebagaimana yang telah dikemukakan dalam uraian diatas, bahwa sumber yang menjadi dasar kajian falsafat pendidikan Islam, adalah al-Quran dan hadits. Kedua sumber ini menjadi landasan utama bagi pemikiran falsafat pendidikan Islam. Adapun sumber lainnya terdiri atas ijma' dan qiyas syar'i sebagai surnber sekunder.
Sehubungan dengan hal itu, maka pada garis besarnya ada dua metode pokok dalam mempelajari falsafat pendidikan Islam, yakni: (1) pendekatan terhadap wahyu; dan (2) pendekatan sejarah.
1. Metode Pendekatan Terhadap Wahyu
Sebagai wahyu al-Quran berisi ayat-ayat yang mendorong manusia agar menggunakan akalnya untuk mencari kebenaran. Dan yang jelas al-Quran memakai akal dalam bentuk kata kerja bukan kata benda. Kenyataan ini menunjukkan bukti bahwa al-Quran lebih menganjurkan manusia untuk berpikir, menggunakan akal (Lihat Q. 16:11, 67 dan 69).
Untuk apa manusia dianjurkan untuk menggunakan akalnya? Salah satu di antaranya, agar manusia ingat dan percaya kepada Allah (Q. 33:41 dan Q. 15:77). Selain itu juga agar manusia memperoleh pemahaman (Q.8:98) tentang kebenaran yang dimaksudkan oleh Allah SWT. sebagai Pencipta. Manusia disuruh menggunakan akal dan inderanya agar manusia tidak salah untuk memahami mana kebenaran yang sesungguhnya, dan mana kebenaran yang dibenarkan, atau yang dianggap benar.
Kebenaran yang sesungguhnya adalah kebenaran yang menunjukkan adanya hubungan ide dengan fakta, dan bukan kebenaran antara hubungan ide dengan ide. Kebenaran yang pertama ini menyangkut pemahaman dengan menggunakan pikiran terhadap yang terkandung dalam isi susunan kata, dalam batas dapat diterima orang. Seperti misalnya kebenaran tentang adanya Tuhan, Allah sebagai Pencipta dan wujud dari Zat yang diyakini sebagai Tuhan itu sendiri. Kebenaran seperti ini, atau kebenaran tentang wujud yang obyektif, hanya mungkin dipelajari secara khusus. Dalam falsafat, aliran yang khusus menekuni hal itu adalah aliran falsafat Theistic realism. Dan sebagai manusia kita tidak akan dapat mencapai kebenaran secara sempurna, akan tetapi kita akan bahagia sekali untuk hanya dapat mendekati kepada kebenaran yang uiiipuhnya (H.M. Rasjidi, 1965).
Adupun kebenaran yang menjadi telaah falsafat pendidikan Islam, pada dasarnya adalah untuk mendekati pemahaman mengenai kebenaran yang sesungguhnya dari sumber kebenaran itu sendiri (Allah) melalui tanda-tanda (ayat) yang diciptakanNya. hubungan dengan hal itu, maka dalam mempelajari falsafat pendikan Islam, pendekatan terhadap wahyu akan dapat membantu.
Menurut Toshihiko Izutsu ada dua ragam tanda (ayat) Tuhan yang perlu diketahui manusia, yaitu : (1) ayat-ayat yang bercorak verbal (Iinguistik), menggunakan bahasa manusia; dan (2) tanda-tanda yang bercorak non-verbal, berupa gejala-gejala alami. Tanda-tanda (ayat-ayat) yang pertama dikenal sebagai wahyu Ilahi (al-Qur’an) dan yang kedua disebut sebagai Sunnatullah. Maka sebagian ayat-ayat yang sama-sama berasal dari sumber yang sama, baik al-Qur’an maupun Sunnatullah, tak terpisahkan, karena keduanya sama-sama mengandung kebenaran dari Tuhan (Toshihiko Izutsu, 1964).
Upaya untuk memahami kebenaran dengan menggunakan ayat-ayat Tuhan sebagai premis, terlihat lebih memungkinkan. Sejumlah penjelasan al-Quran telah mengetengahkan anjuran itu. Kami (Allah) akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (ayat-ayat) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Quran itu adalah benar. (QS, 41:53). Al-Quran sebagai bagian dari ayat-ayat Allah yang sudah tersusun rapi dan rinci (QS.11:1) dan juga tidak dijumpai adanya cacat cela dalam ciptaan-Nya, yang menjadi bagian dari ayat-ayat dalam bentuk gejala alam atau Sunnatullah (QS.67:4).
Dengan menggunakan pendekatan terhadap wahyu ini dimaksudkan adalah cara-cara yang ditempuh dalam upaya memahami kebenaran dengan menggunakan ayat-ayat Tuhan sebagai premis. Kebenaran dicari dengan cara merenungkan, menggali, menafsirkan, memperbandingkan, menghubungkan serta mentakwilkan informasi yang terkandung dalam wahyu. Dari kajian itu kemudian disusun konsep pemikiran dasar tentang pendidikan Islam.
Pernyataan wahyu : Dan Dialah yang menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian mengembalikan (menghidupkan)nya kembali, dan menghidupkannya kembali itu adalah lebih mudah (Q.30:27), dapat dijadikan renungan tentang perjalanan kehidupan manusia. Siapakah manusia itu? Dari mana asalnya? la ada dengan sendiri, atau diciptakan? Kemana manusia itu sesudah mati?
Pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam pemikiran seperti itu mungkin dijawab melalui perenungan, membandingkan dengan diri, dengan kehidupan manusia yang ada sebagai ayat-ayat Tuhan. Hasil pemikiran tersebut kemudian disusun menjadi konsep pemikiran yang bersifat filosofis. Dari sini setidak-tidaknya akan muncul konsep pemikiran yang berkaitan dengan manusia, kebe-naran mengenai siapa manusia itu.
Selanjutnya dengan merenungkan pernyataan Allah; Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (tetapkanlah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurutfitrah itu (Q.30:30), mungkin akan menghasilkan konsep pemikiran yang akan membantu memberi jawaban atas pertanyaan: Apakah manusia itu memerlukan agama atau tidak? Apakah agama itu sendiri ciptaan manusia, ataukah merupakan kodrat hidup manusia? Dari sini dapat dilanjutkan ke pemikiran yang berkaitan dengan konsep pendidikan. Kalau demikian, bagaimana kurikulum pendidikan yang sesuai dengan fitrah kejadian manusia? Perlukah dalam materi kurikulum dimasukkan pendidikan agama? Kalau perlu bagaimana pelaksanaannya? Bagaimana bentuk institusi pendidikan yang sesuai? Alat-alat apa yang perlu disiapkan untuk pelaksanaannya? Dan sejumlah pertanyaan-pertanyaan lain yang berkaitan dengan pendidikan. Jawaban yang diperoleh, disusun menjadi konsep yang berisi rancangan sistem pendidikan yang dinilai cocokuntuk memenuhi pemahaman tentang nilai-nilai kebenaran, berdasarkan hasil pemahaman terhadap wahyu.
Metode ini dengan sendirinya berbeda dari metode dialektik digunakan oleh Socrates yang dijadikannya sebagai metode ilusai untuk pemikiran falsafatnya. Metode dialektik bertitik tolak dari sikap ragu terhadap kebenaran, dan berusaha mencari kebenaran baru sebagai alternatif (Titus, Nolan dan Smith, 1984). Ailapiin metode pendekatan terhadap wahyu, adalah sebaliknya, yaitu bertitik tolak dari keyakinan terhadap kebenaran wahyu itu sendiri. Yang dicari bukan kebenaran baru sebagai alternatif, melainkan pemahaman terhadap kebenaran mutlak yang terkandung dalam wahyu tersebut. Dengan menggunakan kemampuan berpikir, manusia diajak untuk mencari kebenaran yang diperkirakan dapat mendekati kebenaran yang mutlak tersebut. Di sini terlihat bahwa walaupun pemikiran falsafat pendidikan Islam berdasarkan wahyu, tidak berarti meniadakan proses berpikir. Kebenaran yang diperoleh bukan kebenaran yang dianugerahkan begitu saja, melainkan kebenaran yang dicari (acquired truth).
Adapun keyakinan terhadap kebenaran wahyu, dalam upaya mencari kebenaran, dalam proses ini dijadikan sebagai pembanding dan premis untuk menemukan kebenaran yang dinilai sebagai kebenaran yang mendekati kebenaran wahyu sebagai kebenaran mutlak. Dengan demikian kebenaran yang dicari adalah kebenaran dalam batas-batas kemampuan akal manusia, namun Walaupun tidak mencapai tingkat kebenaran mutlak tetap sejalan dengan kebenaran mutlak wahyu.
2. Metode Pendekatan Sejarah
Metode ini digunakan untuk mengkaji hasil pemikiran ulama (cendekiawan) Islam di masa silam. Melalui pendekatan sejarah diharapkan dapat diketahui bagaimana konsep-konsep pendidikan Islam dari zaman silam, perkembangan pemikiran, faktor-faktor, yang mempengaruhi perubahan, serta latar belakang yang mendorong lahirnya konsep-konsep tentang rancangan pendidikan Islam.
Kajian ini dimaksudkan untuk mencari persamaan, perbedaan atau temuan-temuan dalam konsep-konsep yang dihasilkan oleh pemikir pendidikan tersebut masing-masing. Dengan mengadakan kajian terhadap karya-karya dimaksud, setidak-tidaknya akan diperoleh manfaat, antara lain: pertama, bagaimana perkembangan pemikiran (falsafat) pendidikan Islam dari zaman ke zaman; kedua, memahami konsep dan hasil karya para pemikir (filosof) pendidikan Islam; dan ketiga, dapat melanjutkan rangkaian pemikiran yang masih relevan, sambil melakukan revisi pada hal-hal yang perlu disesuaikan dengan tuntutan dan perkembangan zaman.
Bagaimanapun peradaban suatu bangsa akan banyak bergantung kepada jumlah pemikir yang dimilikinya. Dan kelanggengan peradaban itu ditentukan pula oleh jumlah generasi pelanjut yang akan meneruskan karya pendahulu mereka. Perkembangan peradaban yang mengakar ke masa silam, dinilai akan memperkokoh landasan dasar berpijak bagi pengembangan selanjutnya.
Peradaban Barat yang sekarang dikenal sebagai peradaban abad teknologi dianggap sebagai kelanjutan dari peradaban Yunani kuno itu, sebenarnya tidak terlepas dari sejumlah peradaban perantara, yang menjadi pengantar antara peradaban Yunani kuno ke Barat modern. Peradaban yang merupakan rangkaian sejumlah peradaban itu ternyata saling tergantung antara satu sama lain.
Peradaban Yunani kuno tak mungkin langsung menjadi peradaban Barat modern tanpa melalui rangkaian sejumlah peradaban lain seperti peradaban Tiongkok, India dan Islam (klasik). Dan perpindahan ke peradaban baru yang mampu mendominasi peradaban lainnya, tidak muncul secara mendadak, melainkan melalui proses yang lama dan panjang. Dan yang penting peradaban baru harus mengakar ke peradaban lama. Jepang menjadi negara modern, tak terlepas dari akar budaya kunonya, yaitu tradisi Shinto. Sebaliknya usaha modernisasi Turki yang menjiplak peradaban Barat modern, ternyata gagal.
Dalam hubungannya dengan falsafat pendidikan Islam, maka kajian terhadap karya-karya klasik para filosof pendidikan Islam adalah merupakan bagian yang sudah mendesak. Pemikiran-pemikiran filosofis tentang pendidikan, bagaimanapun (seharusnya) ta layak dilepaskan dari ikatan pemikiran Islam klasik.
Para pemikir pendidikan Islam zaman klasik seperti Ibn Miskawih, al-Jahiz, Al-Ghazali dan Iain-lain. Misalnya salah satu pendapat Al-Ghazali dalam tulisannya menyatakan bahwa agar materi pelajaran yang diberikan kepada anak didik disesuaikan dengan kemampuan tingkat pemahamannya, agar anak jangan salah memahaminya. Materi yang terlalu tinggi akan menyebabkan anak menghindar atau merusak akalnya (Fathiyah Hasan lulttimnn, 1956). Syeikh Abd al-Basith Musa al-'Almawy (w.981 H ) dengan nada yang sama menyatakan pula "jika murid melakukan sesuatu (dibebankan materi pelajaran) diluar kemampuannya, dikhawatirkan akan menimbulkan kebosanan dan sebaiknya beban yang terlampau berat dihindarkan. Dan janganlah guru menyuruh muridnya mempelajari sesuatu yang tidak sesuai dengan kemampuan akalnya dan tingkat usianya" (Abd Basith Musa al-'Almawy dalam Fathiyah, 1956).
Pemahaman konsep berdasarkan pendekatan sejarah secara keliru, akan mempengaruhi pendidikan Islam itu sendiri. Antara lain seperti dikemukakan oleh Muhammad Munir Mursi mengenai premis "manusia adalah hewan yang berakal" yang sering termuat dalam mantiq. Premis tersebut menurutnya bukan berasal dari konsep ajaran Islam, tetapi dari pengaruh pemikiran Yunani. Menurut konsep Islam, dari aspek mana pun, manusia tak mungkin disamakan dengan hewan. Manusia adalah makhluk ciptaan Allah dan yang paling sempurna dari makhluk lainnya yang juga ciptaan Allah. Karena itu menyamakan manusia dengan hewan, tidak sejalan dengan konsep ajaran Islam (Muhammad Munir Mursi, 1989).
Kajian terhadap konsep pemikiran ahli didik Islam di zaman klasik diperkirakan akan membantu menemukan hasil pemikiran pendidikan yang murni dan sesuai dengan ajaran Islam. Disinilah letak pentingnya metode pendekatan sejarah dalam kajian falsafat pendidikan Islam.
C. MANUSIA MENURUT FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
Pemikiran filsafat mencakup ruang lingkup yang berskala makro yaitu: kosmologi, antologi, philosophy of mind, epistemologi dan aksi-ologi (M. Arifin, 1993 : 6). Untuk melihat bagaimana sesungguhnya manusia dalam pandangan filsafat pendidikan Islam, maka telaah secara makro ini perlu diketahui. Setidaknya karena manusia merupakan bagian dari alam semesta (kosmos). Dengan demikian manusia tidak dapat melepaskan diri dari lingkungan kehidupan alam semesta.
Seperti halnya alam semesta, maka dalam konsep filsafat pendidikan Islam, manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan. Hakikat penciptaannya adalah agar manusia menjadi pengabdi Penciptanya (ontologi). Agar dapat menempatkan dirinya sebagai pengabdi yang setia, maka manusia dianugerah berbagai potensi baik potensi jasmani, rohani dan ruh (philosophy of mind).
Pertumbuhan dan perkembangan manusia berjalan secara evolusi (berjenjang dan bertahap). Melalui penjenjangan dan pertahapan tersebut, manusia mengisi dirinya dengan pengalaman dan pengetahuan. Dengan demikian manusia memperoleh pengetahuan secara berproses, berasal dari pengembangan potensi dirinya, pengalaman dengan lingkungannya serta dari Tuhan (epistemologi). Karena itu hubungan antara lingkungan, manusia dengan Khaliq (Pencipta) maupun antar sesama makhluk (ciptaari), tak dapat dipisahkan.
Manusia sebagai makhluk ciptaan, dilengkapi dengan potensi agar dengan potensi itu ia dapat mengembangkan dirinya. Namun dalam usaha meningkatkan kualitas sumber daya insaninya itu, manusia diikat-kan oleh nilai-nilai yang telah ditentukan oleh Penciptanya (aksiologi). Dengan demikian manusia dalam pandangan filsafat pendidikan Islam adalah sebagai makhluk alternatif (dapat memilih), tetapi kepadanya ditawarkan pilihan nilai yang terbaik, yaitu nilai Ilahiyat. Di satu sisi ia memiliki kebebasan untuk memilih arah, di lain pihak manusia diberi pedoman ke mana arah yang terbaik yang semestinya ia tuju. Manusia dapat dikategorikan sebagai makhluk bebas (alternatif) dan sekaligus terikat (tidak bebas nilai).
1. Manusia dan Potensinya
Manusia adalah makhluk Allah yang paling potensial. Berbagai ke-lengkapan yang dimilikinya memberi kemungkinan bagi manusia untuk meningkatkan kualitas sumber daya dirinya. Secara biologis manusia bertumbuh dari makhluk yang lemah secara fisik (janin dan bayi), menjadi remaja, dewasa dan kemudian menurun kembali kekuatannya, dan setelah itu pertumbuhan manusia berakhir pada kematian.
Di luar itu manusia juga memiliki potensi mental yang memberi peluang baginya untuk meningkatkan kualitas sumber daya insaninya. Lebih dari itu manusia memiliki pula kemampuan untuk menghayati berbagai masalah yang bersifat abstrak seperti simbol-simbol, ucapan dan ungkapan hingga kepada pengenalan terhadap Penciptanya. Potensi tersebut seluruhnya dinilai sebagai pengarahan dari Penciptanya agar manusia mampu menjalani perannya sebagai pengabdi Allah, dalam pola dan perilaku yang benar.
Secara garis besarnya potensi tersebut terdiri atas empat potensi utama yang secara fitrah sudah dianugerahkan Allah kepadanya; yaitu:
a. Hidayat al-Gharizziyat (potensi naluriah)
Dorongan ini merupakan dorongan primer yang berfungsi untuk memelihara keutuhan dan kelanjutan hidup manusia. Di antara dorongan tersebut adalah berupa instink untuk memelihara diri, seperti makan, minum, penyesuaian tubuh terhadap lingkungan dan sebagainya. Dorongan ini berguna bagi manusia agar eksistensinya terjaga supaya tetap hidup.
Kemudian dorongan yang kedua, yaitu dorongan untuk mempertahankan diri. Bentuk dorongan ini dapat berupa nafsu marah, bertahan atau menghindar dari gangguan yang mengancam dirinya, baik oleh sesama makhluk maupun oleh lingkungan alam. Dorongan mempertahankan diri berfungsi untuk memelihara manusia dari ancaman dari luar dirinya. Realisasinya berupa karya busana, senjata, tempat tinggal dan sebagainya.
Adapun dorongan yang ketiga, berupa dorongan untuk mengembangkan jenis. Dorongan ini berupa naluri seksual. Manusia pada tahap pencapaian kematangan fisik (dewasa) menjadi tertarik terhadap lawan jenisnya. Dengan adanya dorongan ini manusia dapat mengembangkan jenisnya dari satu generasi ke generasi sebagai pelanjut kehidupan.
Ketiga macam dorongan tersebut melekat pada diri manusia secara fitrah. Diperoleh tanpa harus melalui proses belajar. Karena itu dorongan ini disebut sebagai dorongan naluriah atau dorongan instinktif. Dorongan yang siap pakai, sesuai dengan kebutuhan dan kematangan perkembangannya.
b. Hidayat al-Hassiyat (potensi inderawi)
Potensi inderawi erat kaitannya dengan peluang manusia untuk me-ngenal sesuatu di luar dirinya. Melalui alat indera yang dimilikinya, manusia dapat mengenal suara, cahaya, warna, rasa, bau dan aroma maupun bentuk sesuatu. Jadi indera berfungsi sebagai media yang menghubungkan manusia dengan dunia di luar dirinya.
Potensi inderawi yang umum dikenal terdiri atas indera penglihat, pencium, peraba, pendengar dan perasa. Namun di luar itu masih ada sejumlah alat indera dalam tubuh manusia seperti antara lain indera keseimbangan dan taktil. Potensi tersebut difungsikan melalui pemanfaatan alat indera yang sudah siap pakai seperti mata, telinga, hidung, lidah, kulit dan otak maupun fungsi syaraf.
c. Hidayat al-Aqliyyat (potensi akal)
Jika hidayat al-qhariziyyat dan hidayat al-hissiyat dimiliki oleh setiap makhluk hidup baik manusia maupun hewan, maka hidayat al-aqliyat hanya dianugerahkan Allah kepada manusia. Adanya potensi ini menyebabkan manusia dapat meningkatkan dirinya melebihi makhluk-makhluk lain ciptaan Allah.
Potensi akal memberi kemampuan kepada manusia untuk memahami simbol-simbol, hal-hal yang abstrak, menganalisa, membandingkan maupun membuat kesimpulan dan akhirnya memilih maupun memisahkan antara yang benar dari yang salah. Kemampuan akal mendorong manusia berkreasi dan berinovasi dalam menciptakan kebudayaan serta peradaban. Manusia dengan kemampuan akalnya mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, mengubah serta merekayasa lingkungannya, menuju situasi kehidupan yang lebih baik, aman dan nyaman.
d. Hidayat al-Diniyyat (potensi keagamaan)
Pada diri manusia sudah ada potensi keagamaan, yaitu berupa dorongan untuk mengabdi kepada sesuatu yang dianggapnya memiliki kekuasaan yang lebih tinggi. Dalam pandangan antropolog, dorongan ini dimanifestasikan dalam bentuk percaya terhadap kekuasaan supernatural (believe in supernatural being). Di lingkungan kehidupan primitif misalnya ditemui upacara-upacara sakral dalam bentuk penyembahan leluhur (totemisme), maupun benda-benda alam yang lainnya.
Dorongan untuk mengabdi ini teramu dari berbagai macam unsur emosi seperti perasaan kagum, perasaan ingin dilindungi, perasaan tak berdaya, perasaan takut, perasaan bersalah dan Iain-lain. Gejala-gejala emosional ini mendorong manusia untuk memuja sesuatu yang dinilainya dapat menetralisasi perasaan-perasaan tersebut. Pada masyarakat primitif fenomena ini ditampilkan dalam bentuk pemujaan pada benda-benda alam yang bersifat konkret sebaliknya pada masyarakat maju, terkadang terjadi pergeseran ke hal-hal yang lebih abstrak.
Dalam kasus-kasus seperti itu terlihat bahwa bagaimanapun sederhananya peradaban manusia, dorongan untuk mengabdi dan tunduk kepada sesuatu yang dianggap adi kuasa tetap ada. Dalam pandangan filsafat pendidikan Islam dorongan tersebut merupakan fitrah manusia (QS. 30:30). Dorongan ini adalah bagian dari faktor intern (bawaan sejak lahir) sebagai anugerah Allah.
Dorongan ini menggambarkan bahwa pada diri manusia memang sudah ada rasa keberagamaan dalam bentuk kecenderungan untuk menundukkan diri kepada sesuatu yang dikagumi, disamping jenis perasaan lain yang ada. Dalam berbagai kajian tentang psikologi agama, antropologi agama maupun sosiologi agama, terlihat bahwa dalam kehidupannya manusia memang tak dapat dipisahkan dari agama. Ada semacam kecenderungan untuk beragama pada manusia baik secara individu maupun kelompok.
Kajian psikologi agama mengidentifikasikan bahwa pada diri manusia, terdapat rasa penyesalan dan rasa bersalah (sense of guilt). Kemudian temuan antropologi baik budaya maupun antropologi fisik, menunjukkan baik di lingkungan masyarakat asli (primitif), maupun modern dijumpai adanya upacara-upacara ritual dan benda-benda yang dianggap suci. Sedangkan sosiologi agama mengetengahkan temuan tentang nilai-nilai suci dalam tatanan kehidupan sosial di masyarakat.
Keempat potensi ini terangkum pada potensi dasar manusia, yaitu: jasmani, akal nafs dan ruh. Hidayat al-gharizziyat dan hissiyat terdapat dalam diri manusia sebagai makhluk biologis (basyr dan nafs). Sedangkan hidayat al aqliyah (aqal), dan hidayat al-diniyyah termuat dalam ruh (bukan roh). Potensi yang bersifat fitrah ini tampaknya memang menandai karakteristik dasar kehidupan manusia pada umumnya.
2. Pengembangan Potensi Manusia
Potensi dapat diibaratkan lembaga pada tumbuh-tumbuhan. Wujudnya baru akan tampak nyata apabila dipelihara, dirawat, dijaga, dibimbing serta dikembangkan atau bakat yang dimiliki setiap manusia. Kodratnya memang manusia dianugerah oleh Penciptanya berupa kemampuan potensial dasar.
Demikian halnya dengan potensi yang dimiliki manusia. Potensi naluriah, inderawi, akal maupun rasa keberagamaan pada bentuk asalnya baru berupa dorongan-dorongan dasar yang bekerja secara alami. Oleh karena itu potensi tersebut baru akan dapat mencapai tujuan yang sebenarnya apabila dijaga, dipelihara, dibimbing dan dikembangkan secara terarah, bertahap dan berkesinambungan. Pengembangan potensi manusia dapat dilakukan dengan beragam cara dan ditinjau dari berbagai pendekatan.
Dengan menggunakan pendekatan yang beragam itu diharapkan pernahaman mengenai manusia akan lebih mendalam. Melalui pemahaman yang seperti itu, maka pengenalan terhadap manusia akan lebih mengena. Lebih-lebih bila pendekatan yang digunakan bersumber dari konsep ajaran wahyu, sebagai informasi yang mengandung kebenaran yang hakiki tentang manusia. Sebab dalam pandangan filsafat pendidikan Islam, manusia adalah makhluk ciptaan Allah SWT.
a. Pendekatan Filosofis
Pendekatan ini digunakan dalam konteks pandangan filsafat yang mengacu kepada hakikat penciptaan manusia itu sendiri. Dijelaskan oleh Penciptanya bahwa manusia selaku makhluk ciptaan Allah yang setia (QS.51:56). Dengan demikian, dalam tinjauan filosofis al-Quran, manusia merupakan makhluk ciptaan yang diprogramkan untuk mengabdi kepada Penciptanya.
Dalam hubungan dengan hakikat penciptaannya, maka keberadaan (eksistensi) manusia baru akan bermakna apabila pola hidupnya disesuaikan dengan rancang bangun (blue print) yang sudah ditetapkan oleh Sang Khaliq. Ada pedoman dasar yang harus diikuti dalam pengembangan potensi manusia agar sejalan dengan kehendak Penciptanya. Dengan demikian pengembangan potensi manusia, apapun bentuknya harus diarahkan bagi terwujudnya nilai-nilai Ilahiyat dimaksud. Nilai-nilai Ilahiyat ini dijadikan dasar dan sekaligus sebagai tujuan dalam pengembangan potensi manusia.
Dalam pandangan filsafat pendidikan Islam nilai-nilai Ilahiyat merupakan nilai yang mengandung kebenaran yang hakiki. Berdasarkan pendekatan filosofis ini, pengembangan potensi manusia diarahkan pada memenuhi jawaban yang mengacu kepada permasalahan yang menyangkut pertanyaan tentang untuk apa potensi itu dianugerahkan oleh Penciptanya bagi kepentingan hidup manusia. Jelasnya bahwa potensi yang dianugerahkan itu tidak lepas dari kaitannya dengan pengabdian kepada Penciptanya.
Pada garis besarnya pengembangan potensi manusia harus mengacu kepada pengabdian dalam bentuk mematuhi ketentuan dan pedoman Allah selaku Pencipta. Sedangkan ungkapan rasa syukur digambar-kan dalam bentuk penghayatan terhadap nilai-nilai akhlak yang terkan-dung didalamnya serta mampu diimplementasikan dalam sikap dan perilaku, lahiriah maupun batiniah. Pengembangan ini diarahkan pada nilai-nilai batin, dengan harapan dapat menumbuhkan kesadaran dalam diri manusia, bahwa segala potensi yang dimiliki merupakan nikmat Allah (QS.16:53).
Kesadaran seperti ini pada saatnya akan mengkristal menjadi do-rongan pengabdian yang didasarkan nilai-nilai intrinsik, yaitu atas dasar kesadaran batin. Nilai intrinsik diperoleh melalui proses yang tumbuh dari daya hayat yang mendalam tentang makna yang terkandung didalamnya. Atas kesadaran itu timbul dorongan dari dalam diri. Bukan atas pengaruh luar.
b. Pendekatan Kronologis
Yang dimaksud dengan pendekatan kronologis adalah pendekatan yang didasarkan atas proses perkembangan melalui pentahapan. Melalui pendekatan ini manusia dipandang sebagai makhluk evolutif. Disadari bahwa manusia bukanlah makhluk siap jadi, yakni setelah lahir langsung menjadi dewasa. Manusia adalah makhluk yang berkembang secara evolusi. Dari lahir hingga menginjak usia dewasa, perkembangan manusia melalui periodisasi.
Secara fisik, kejadian manusia diawali dari proses pembuahan (pertemuan sel telur dan sperma), dan kemudian berkembang menjadi janin (QS.23:12-14), lalu berkembang menjadi anak-anak, remaja, dewasa hingga mencapai usia lanjut (QS.40:67). Setiap tahap perkembangan ditandai oleh adanya ciri khas (karakteristik) tertentu pada kemampuan yang dimilikinya. Jadi manusia memiliki periodisasi dalam perkembangan dan kemampuannya.
Seperti halnya pada aspek pertumbuhan biologis, maka potensi yang dimiliki manusia pun berkembang mengikuti proses perkembangan fisiknya. Perkembangan ini melalui tahap demi tahap hingga mencapai tahap kematangannya. Dengan ditandai oleh karakteristiknya masing-masing, maka pada setiap tahap perkembangan aspek-aspek fisik dan mental yang memiliki tingkat kepekaan untuk dikembangkan secara optimal.
Merujuk kepada kenyataan ini, maka pengembangan potensi manusia harus diarahkan kepada bimbingan secara bertahap pula. Selain itu, pengembangan potensi manusia tidak mungkin dilakukan dengan paksa. Bimbingan yang diberikan harus pula disesuaikan dengan hukum-hukum perkembangan, yang secara umum sama. Atas dasar adanya kaidah umum ini, maka program bimbingan yang efektif dapat diberikan.
Di antara hukum perkembangan itu, diketahui pula bahwa manusia memiliki irama perkembangan yang berbeda-beda. Tiap individu mempunyai irama perkembangan masing-masing. Karena itu bimbingan yang diberikan, harus pula didasarkan pada kemampuan untuk mengenal karakteristik perkembangan, tahap demi tahap. Atas dasar pemahaman ini diketahui, bahwa pencapaian tingkat kematangan fungsi fisik dan mental manusia dalam perkembangannya memiliki irama. Adakalanya seorang anak lebih cepat berjalan, tapi fungsi alat bicaranya terlambat. Sebaliknya ada pula yang terlambat berjalan, tetapi dalam usia yang sama telah memiliki kemampuan berbicara.
c. Pendekatan Fungsional
Setiap potensi yang dianugerahkan Allah kepada manusia tentunya diarahkan untuk dimanfaatkan. Tuhan sebagai Pencipta, mustahil menciptakan sesuatu tanpa tujuan, hingga terkesan mengadakan sesuatu yang sia-sia (QS.44:38). Semua yang diciptakan-Nya pasti mempunyai tujuan, termasuk yang berkaitan dengan pencipta potensi manusia.
Melalui pendekatan fungsional ini, dimaksudkan bahwa pengembangan potensi manusia dilihat dalam kaitannya dengan fungsi potensi itu masing-masing. Dorongan naluriah, seperti makan dan minum dikembangkan dengan tujuan agar manusia dapat memelihara kelanjutan hidup manusia. Sedangkan dorongan seksual dibimbing dan diarahkan untuk menjaga kelanjutan perkembangan jenisnya. Demikian pula pengembangan fungsi inderawi, akal maupun dorongan ketundukan (beragama).
Indera berfungsi sebagai media untuk mengenal dunia luar, hingga manusia dapat berkomunikasi dengan lingkungannya. Fungsi utama akal adalah agar manusia dapat membedakan yang benar dari yang salah. Sedangkan fungsi dorongan beragama adalah agar manusia dapat mengenal dan mengabdi kepada Tuhan sebagai Penciptanya. Dengan demikian setiap potensi secara hakiki memiliki arah perkembangan yang jelas.
Dengan menggunakan pendekatan fungsi ini diharapkan agar arah perkembangan potensi yang ada pada manusia tidak menjadi sia-sia, karena ditelantarkan. Tanpa atau salah dalam memberikan bimbingan. Oleh karena itu arah pengembangannya perlu disesuaikan dengan fungsi utama dari setiap potensi itu masing-masing. Kealpaan atau kekeliruan dalam menyesuaikan bimbingan dengan fungsi potensi akan merugikan masa depan seseorang.
D. PEMIKIRAN PARA TOKOH PENDIDIKAN ISLAM
Pada pembahasan ini yang akan ditampilkan adalah tokoh-tokoh pendidikan Islam, walaupun boleh jadi sebagian tokoh diduga bukan sebagai tokoh ilmu pendidikan Islam, namun ketika dikaji ternyata tokoh-tokoh tersebut memiliki pemikiran tentang masalah-masalah pendidikan Islam, dan dalam pembahasan ini hanya sebagian saja dari tokoh pendidikan Islam yang diuraikan, diantaranya sebagai berikut :
1. Ibn Miskawih
a. Riwayat Hidup
Nama lengkapnya adalah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ya'qub Ibn Miskawaih. la lahir pada tahun 320 H/ 932 M. di Rayy, dan meninggal di Isfahan pada tanggal 9 Shafar tahun 412H/16 Februari 1030 M. Ibn Miskawaih hidup pada masa pemerintahan dinasti Buwaihi (320-450H/932-1062 M.) yang sebagian besar pemukanya bermazhab Syi'ah.
Dari segi latar belakang pendidikannya tidak dijumpai data sejarah yang rinci. Namun dijumpai keterangan, bahwa ia mempelajari sejarah dari Abu Bakr Ahmad Ibn Kamil al-Qadi, mempelajari filsafat dari Ibn al-Akhmar, dan mempelajari kimia dari Abu Thayyib.
Dalam bidang pekerjaan, tercatat, bahwa pekerjaan utama Ibn Miskawaih adalah bendaharawan, sekretaris, pustakawan dan pen-didik anak para pemuka dinasti Buwaihi. Selain akrab dengan pe-nguasa, ia juga banyak bergaul dengan para ilmuwan seperti Abu Hayyan at-Tauhidi, Yahya ibn 'Adi dan Ibn Sina. Selain itu Ibn Miskawaih juga dikenal sebagai sejarawan besar yang kemasyhurannya melebihi pendahulunya, At-Thabari (w.310H./923M). Selanjutnya ia juga dikenal sebagai dokter, penyair dan ahli bahasa. Keahlian Ibn Miskawaih dalam berbagai bidang ilmu tersebut antara lain dibuk-tikan dengan karya tulisnya berupa buku dan artikel.
Jumlah buku dan artikel yang berhasil ditulis oleh Ibn Miskawaih ada 41 buah. Menurut Ahmad Amin, semua karya Ibn Miskawaih tersebut tidak luput dari kepentingan filsafat akhlak. Sehubungan dengan itu tidak mengherankan jika Ibn Miskawaih selanjutnya dikenal sebagai moralis.4 Di antara karya tulisnya adalah Risalah fi al-Lazzat wa al-Alam, Risalah fi at-Thabi'at, Risalah fi fauhar an-Nafs, Maqalat an-Nafs wa al-'Aql, Fi Isbat as-Shuivar al-Ruhaniyat allati la Yahula Lana, min Kitab al-'Aql wa al-Ma'qul, Ta'rif li Miskawaih Yumayyizu bihi bain ad-Dahr wa az-Zaman, Tahzib al-Akhlaq wa Tathhir al-A'raq dan Risalah fi Jawab fi Su'ali li AH ibn Miskawaih Ha Abi Hayyan as-Shaulifi Haqiqat al- 'Adi.
Dari uraian tersebut di atas segera dapat diketahui bahwa Ibn Miskawaih merupakan seorang intelektual Muslim pertama di bidang filsafat akhlak. Keahliannya dalam bidang akhlak tersebut dapat dilihat lebih lanjut dalam konsep pendidikan yang dirumuskannya sebagaimana akan diuraikan di bawah ini.
b. Konsep Pendidikan Ibn Miskawaih
Pemikiran pendidikan Ibn Miskawaih tidak dapat dilepaskan dari konsepnya tentang manusia dan akhlak. Untuk kedua masalah ini dapat dikemukakan sebagai berikut :
(1) Konsep Manusia
Sebagaimana para filosof lainnya Ibn Miskawaih memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki macam-macam daya. Menurutnya dalam diri manusia ada tiga daya, yaitu: (1) Daya ber-nafsu (an-nafs al-bahimiyyaf) sebagai daya terendah; (2) Daya berani (an-nafs as-sabu'iyyat) sebagai daya pertengahan, dan (3) Daya berpikir (an-nafs an-nathiqah) sebagai daya tertinggi. Ketiga daya ini merupakan unsur ruhani manusia yang asal kejadiannya berbeda.
Sesuai dengan pemahaman tersebut di atas, unsur ruhani berupa an-nafs al-bahimiyyat dan an-nafs as-sabu'iyyat berasal dari unsur materi, sedangkan an-nafs an-nathiqat berasal dari ruh Tuhan. Karena itu Ibn Miskawaih berpendapat bahwa kedua an-nafs yang berasal dari materi akan hancur bersama hancurnya badan dan an-nafs an-nathiqat tidak akan mengalami kehancuran.
Selanjutnya Ibn Miskawaih mengatakan bahwa hubungan jiwa al-bahimiyat/as-syahiviyyat (bernafsu) dan jiwa al-ghadabiyat as-sabu'iyyat (berani) dengan jasad pada hakikatnya sama dengan hubungan saling mempengaruhi. Kuat atau Iemahnya, sehat atau sa-kitnya tubuh berpengaruh terhadap kuat atau Iemahnya dan sehat atau sakitnya kedua macam jiwa tersebut. Begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, kedua macam jiwa ini, dalam melaksanakan fungsinya tidak akan sempurna kalau tidak menggunakan alat bendawi atau alat badani yang terdapat dalam tubuh manusia. Dengan demikian Ibn Miskawaih melihat bahwa manusia terdiri dari unsur jasad dan ruhani yang antara satu dan lainnya saling berhubungan.
(2) Konsep Akhlak
Pemikiran Ibn Miskawaih dalam bidang akhlak termasuk salah satu yang mendasari konsepnya dalam bidang pendidikan. Konsep akhlak yang ditawarkannya berdasar pada doktrin jalan tengah.
Doktrin jalan tengah (al-wasath) yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah The Doktrin of the Mean atau The Golden ternyata sudah dikenal para filosof sebelum Ibn Miskawaih. Filosof China, Mencius (551-479) misalnya, memilliki paham tentang doktrin jalan tengah. Filosof Yunani seperti Plato (427-347'SM), Aristoteles (384-322 SM) dan filosof Muslim seperti Al-Kindi dan Ibn Sina juga didapati memiliki paham demikian.
Ibn Miskawaih secara umum memberi pengertian pertengahan (jalan tengah) tersebut antara lain dengan keseimbangan, moderat, harmoni, utama, mulia, atau posisi tengah antara dua ekstrem. Akan tetapi ia tampak cenderung berpendapat bahwa keutamaan akhlak secara umum diartikan sebagai posisi tengah antara ekstrem kelebihan dan ekstrem kekurangan masing-masing jiwa manusia. Dari sini terlihat bahwa Ibn Miskawaih memberi tekanan yang lebih untuk pertama kali buat pribadi. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, jiwa manusia ada tiga, yaitu: jiwa al-bahimiyah, al-ghadabiyah dan an-nathiqah. Menurut Ibn Miskawaih, posisi tengah jiwa al-bahimiyah adalah al-'iffah yaitu menjaga diri dari perbuatan dosa dan maksiat seperti berzina. Selanjutnya posisi tengah jiwa al-ghadabiyah adalah as-saja'ah atau perwira, yaitu keberanian yang diperhitungkan dengan masak untung ruginya. Sedangkan posisi tengah dari jiwa an-nathiqah adalah al-hikmah yaitu kebijaksanaan. Adapun perpaduan dari ketiga posisi tengah tersebut adalah keadilan atau keseimbangan.
Keempat keutamaan akhlak tersebut (al-iffah, as-saja'ah, al-hikmah dan al-'adalah) merupakan pokok atau induk akhlak yang mulia. Akhlak-akhlak mulia lainnya seperti jujur, ikhlas, kasih sayang, hemat, dan sebagainya merupakan cabang dari keernpat induk akhlak tersebut. Cabang dari keempat pokok keutamaan itu amat banyak jumlahnya, bahkan tidak terhitung.
Selanjutnya Ibn Miskawaih menegaskan bahwa setiap keutamaan tersebut memiliki dua sisi yang ekstrem. Yang tengah bersifat terpuji dan yang ekstrem tercela. Dalam menguraikan sikap tengah dalam bentuk akhlak tersebut, Ibn Miskawaih tidak membawa satu ayat pun dari Al-Qur'an, dan tidak pula membawa dalil Al-Hadits. Namun demikian menurut penilaian Abd al-Halim Mahmud dan Al-Ghazali, bahwa spirit doktrin ajaran tengah ini sejalan dengan ajaran Islam. Hal demikian dapat dipahami, karena banyak dijumpai ayat-ayat Al-Qur'an yang memberi isyarat untuk itu, seperti tidak boleh kikir tetapi juga tidak boleh boros, melainkan harus bersifat di antara kikir dan boros.
(2) Konsep Pendidikan
Bertolak dari dasar pemikiran tersebut, Ibn Miskawaih membangun konsep pendidikan yang bertumpu pada pendidikan akhlak. Di sini terlihat dengan jelas bahwa karena dasar pemikiran Ibn Miskawaih dalam bidang akhlak, maka konsep pendidikan yang dibangunnya pun adalah pendidikan akhlak. Konsep pendidikan akhlak dari Ibn Miskawaih ini selengkapnya dapat dikemukakan sebagai berikut.
Tujuan Pendidikan Akhlak
Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan Ibn Miskawaih adalah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan sejati dan sempurna. Dengan alasan ini, maka Ahmad Abd al-Hamid as-Sya'ir dan Muhammad Yusuf Musa menggolongkan Ibn Miskawaih sebagai filosof yang bermazhab as-sa'adat di bidang akhlak. Al-Sa'adat memang merupakan persoalan utama dan mendasar bagi Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam hidup manusia dan sekaligus bagi pendidikan akhlak. Makna al-sa'adat sebagaimana dinyatakan M. Abdul Hak Ansari tidak mungkin dapat dicari padanan katanya dalam bahasa Inggris walaupun secara umum diartikan sebagai happines. Menurutnya as-Sa'adat merupakan konsep komprehensif yang di dalamnya terkandung unsur kebahagiaan (happiness), kemakmuran (prosperity), keberhasilan (succes), kesempurnaan (perfection), kesenangan (blessedness), dan kecantikan (beautitude).
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka tujuan pendidikan yang ingin dicapai Ibn Miskawaih bersifat menyeluruh, yakni mencakup kebahagiaan hidup manusia dalam arti yang seluas-luasnya.
Materi Pendidikan Akhlak
Untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan, Ibn Miskawaih menyebutkan beberapa hal yang perlu dipelajari, diajarkan atau dipraktekkan. Sesuai dengan konsepnya tentang manusia, secara umum Ibn Miskawaih menghendaki agar semua sisi kemanusiaan mendapatkan materi didikan yang memberi jalan bagi tercapainya tujuan pendidikan. Materi-materi dimaksud oleh Ibn Miskawaih di-abdikan pula sebagai bentuk pengabdian kepada Allah SWT.
Sejalan dengan uraian tersebut di atas, Ibn Miskawaih menyebutkan tiga hal pokok yang dapat dipahami sebagai materi pendidikan akhlaknya. Tiga hal pokok tersebut adalah (l) hal-hal yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia, (2) hal-hal yang wajib bagi jiwa, dan (3) hal-hal yang wajib bagi hubungannya dengan sesama manusia. Ketiga pokok materi tersebut menurut Ibn Miskawaih dapat diperoleh dari ilmu-ilmu yang secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pemikiran yang selanjutnya disebut al-ulum al-fikriyah, dan kedua ilmu-ilmu yang berkaitan dengan indera yang selanjutnya disebut al-ulum al-hissiyat. Berbeda dengan Al-Ghazali, Ibn Miskawaih tidak membeda-bedakan antara materi yang terdapat dalam ilmu agama dan materi yang terdapat dalam ilmu non-agama serta hukum mempelajarinya.
Ibn Miskawaih tidak memperinci materi pendidikan yang wajib bagi kebutuhan manusia, Secara sepintas tampaknya agak ganjil. Materi pendidikan akhlak yang wajib bagi kebutuhan manusia disebut oleh Ibn Miskawaih antara lain shalat, puasa, dan sa'i. Ibn Miskawaih tidak memberi penjelasan lebih lanjut terhadap contoh yang diajukan ini. Hal ini barangkali didasarkan pada perkiraannya, bahwa tanpa uraian secara terperinci pun orang sudah menangkap maksudnya. Gerakan-gerakan shalat secara teratur yang paling sedikit dilakukan lima kali sehari seperti mengangkat tangan, berdiri, ruku dan sujud memang memiliki unsure olah tubuh. Shalat sebagai jenis olah tubuh akan lebih dirasakan dan disadari sebagai olah tubuh (gerak badan) bilamana dalam berdiri, ruku dan sujud dilakukan dalam tempo yang agak lama.
Selanjutnya materi pendidikan akhlak yang wajib dipelajari bagi keperluan jiwa, dicontohkan oleh Ibn Miskawaih dengan pemba-hasan tentang akidah yang benar, mengesakan Allah dengan segala kebesaran-Nya, serta motivasi untuk senang kepada ilmu. Adapun materi yang terkait dengan keperluan manusia terhadap manusia lain, dicontohkan dengan materi dalam ilmu muamalat, pertanian, perkawinan, saling menasehati, peperangan dan Iain-lain.
Selanjutnya karena materi-materi tersebut selalu dikaitkan dengan pengabdian kepada Tuhan, maka apa pun materi yang terdapat dalam suatu ilmu yang ada, asal semuanya tidak lepas dari tujuan pengabdian kepada Tuhan, Ibn Miskawaih tampak akan menyetujuinya. la menyebut misalnya ilmu nahwu (tata bahasa). Dalam rangka pendidikan akhlak, Ibn Miskawaih sangat mementingkan materi yang ada dalam ilmu ini, karena materi yang ada dalam ilmu ini akan membantu manusia untuk lurus dalam berbicara. Demikian pula materi yang ada dalam ilmu manthiq (logika) akan membantu manusia untuk lurus dalam berpikir.
Adapun materi yang terdapat dalam ilmu pasti seperti ilmu hitung (al-hisab), dan geometri (al-handasaf) akan membantu manusia untuk terbiasa berkata benar dan benci kepalsuan. Sementara itu sejarah dan sastra akan membantu manusia untuk berlaku sopan. Materi yang ada dalam syari'at sangat ditekankan oleh Ibn Miskawaih. Menurutnya, dengan mendalami syari'at, manusia akan teguh pendirian, terbiasa berbuat yang diridhoi Tuhan, dan jiwa siap menerima hikmat hingga mencapai kehagian (as-sa’adat).
Pendidik dan Anak Didik
Pendidik yang dalam hal ini guru, instruktur, ustadz atau dosen memegang peranan penting dalam keberlangsungan kegiatan pengajaran dan pendidikan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Sedangkan anak didik yang selanjutnya disebut murid, siswa, peserta didik atau mahasiswa merupakan sasaran kegiatan pengajaran dan pendidikan merupakan bagian yang perlu mendapatkan perhatian yang seksama. Perbedaan anak didik dapat menyebabkan terjadinya perbedaan materi, metode, pendekatan dan sebagainya.
Kedua aspek pendidikan (pendidik dan anak didik) ini men-dapat perhatian yang khusus dari Ibn Miskawaih. Menurutnya, orang tua tetap merupakan pendidik yang mula-mula bagi anak-anaknya dengan syariat sebagai acuan utama materi pendidikannya. Karena peran yang demikian besar dari orang tua dalam kegiatan pendidikan, maka perlu adanya hubungan yang harmonis antara orang tua dan anak yang didasarkan pada cinta kasih. Namun demikian, cinta seseorang terhadap gurunya, menurut Ibn Miskawaih harus mele-bihi cintanya terhadap orang tuanya sendiri. Kecintaan anak didik atau murid disamakan kedudukannya dengan kecintaan hamba terhadap Tuhannya. Akan tetapi karena kecintaan terhadap Tuhan ini jarang ada yang mampu melakukannya, maka Ibn Miskawaih mendudukkan cinta murid terhadap guru berada di antara kecintaan terhadap orang tua dan kecintaan terhadap Tuhan.
Alasan yang ia ajukan adalah karena seorang guru dianggap lebih berperan dalam mendidik kejiwaan muridnya dalam rangka mencapai kebahagiaan sejati. Guru berfungsi sebagai orang tua atau bapak ruhani, orang yang dimuliakan dan kebaikan yang diberikan adalah kebaikan Ilahi. Selain itu karena guru berperan membawa anak didik kepada kearifan, mengisi jiwa anak didik dengan kebijaksanaan yang tinggi dan menunjukkan kepada mereka kehidupan abadi dan dalam kenikmatan yang abadi pula.
Namun demikian, Ibn Miskawaih tampaknya tidak menempatkan Guru secara keseluruhan pada posisi dan derajat tersebut di atas. Guru yang menempati posisi yang demikian tinggi itu adalah guru yang berderajat mu'allim al-misal (misalnya), al-hakim, atau al-mu'allim al-hikrnat ?
Pendidik sejati yang dimaksudkan Ibn Miskawaih adalah manusia ideal seperti yang terdapat pada konsepsinya tentang manusia yang ideal. Hal demikian terlihat jelas karena ia mensejajarkan posisi mereka sama dengan posisi nabi, terutama dalam hal cinta kasih. Cinta kasih anak didik terhadap pendidiknya menempati urutan kedua setelah cinta kasih terhadap Allah.
Dari pandangan demikian itu, dapat diambil suatu pemahaman bahwa guru yang tidak mencapai derajat seperti yang dimaksudkan di atas dinilai sama oleh Ibn Miskawaih dengan seorang teman atau saudara, karena dari mereka itu dapat juga diperoleh ilmu dan adab.
Menurutnya yang tergolong sebagai teman atau saudara adalah orang yang satu keturunan atau lainnya, baik anak-anak maupun orang tua. Ibn Miskawaih juga menyatakan bahwa cinta itu banyak jenis, sebab dan kualitasnya. Secara umum ia membagi cinta kepada empat bagian. Pertama, cinta yang cepat melekat tetapi juga cepat pudar. Kedua, cinta yang cepat melekat tetapi tidak cepat pudar. Ketiga, cinta yang melekatnya lambat tetapi pudarnya cepat pula, dan ke-empat cinta yang melekat dan pudarnya lambat. Cinta yang dasarnya karena kenikmatan, termasuk cinta yang cepat melekat dan cepat pula pudarnya. Sedangkan cinta yang dasarnya karena kebaikan, termasuk cinta yang cepat melekat tetapi lambat pudarnya.
Selanjutnya cinta yang didasarkan atas kemanfaatan, termasuk cinta yang lambat melekatnya dan cepat pula pudar. Sedangkan cinta yang dasarnya adalah semua jenis kebaikan tersebut, maka melekat dan pudarnya lambat.
Macam-macam cinta ini, menurutnya sekedar cinta manusiawi. Ibn Miskawaih sangat mengharapkan adanya cinta selain itu semua. Cinta yang diharapkan adalah cinta yang didasarkan atas semua jenis kebaikan itu, tetapi kualitasnya lebih lama, sehingga menjadi cinta yang murni dan sempuma. Cinta demikian disebutnya dengan cinta Ilahi. Cinta ini tidak memiliki cacat sedikit pun, karena ia muncul dari manusia yang suci terlepas dari pengaruh kematerian. Pemikiran demikian itu sejalan dengan tujuan pendidikan akhlak yang telah diuraikan di atas.
Adapun posisi teman atau saudara, menurut Ibn Miskawaih, paling tinggi hanya mungkin diletakkan di atas berbagai hubungan cinta kasih tersebut, tetapi masih berada di bawah cinta murni. Dengan demikian, maka cinta murid terhadap guru biasa, masih menempati posisi lebih tinggi daripada cinta anak terhadap orang tua, hanya saja tidak mencapai cinta murid terhadap guru idealnya. Seperti halnya pada masalah lain, Ibn Miskawaih selalu berusaha mencari yang terbaik. Yang terbaik, sebagaimana telah disebutkan di atas adalah yang pertengahan. Karena itu posisi guru biasa, bisa diletakkan di antara posisi guru yang ideal dan orang tua.
Adapun yang dimaksud dengan guru biasa oleh Ibn Miskawaih tersebut bukan dalam arti sekedar guru formal karena jabatan. Menurutnya, guru biasa adalah mereka yang memiliki berbagai persyaratan antara lain: (l) bisa dipercaya; (2) pandai; (3) dicintai; sejarah hidupnya jelas tidak tercemar di masyarakat. Di samping itu, ia hendaknya menjadi cermin atau panutan dan bahkan harus lebih mulia dari orang yang dididiknya.
Perlunya hubungan yang didasarkan pada cinta kasih antara guru dan murid tersebut di atas dipandang demikian penting, karena terkait dengan keberhasilan dalam kegiatan belajar mengajar. Kegiatan belajar mengajar yang didasarkan atas cinta kasih antara guru dan murid dapat memberi dampak yang positif bagi keberhasilan pendidikan.
Lingkungan Pendidikan
Seperti pernah dikemukakan sebelumnya, Ibn Miskawaih berpendapat bahwa usaha mencapai kebahagiaan (as-sa'adat) tidak dapat dilakukan sendiri, tetapi harus bersama atas dasar saling me-nolong dan saling melengkapi. Kondisi demikian akan tercipta apa-bila sesama manusia saling mencintai. Setiap pribadi merasa bahwa kesempurnaan dirinya akan terwujud karena kesempurnaan yang lainnya. Jika tidak demikian, maka kebahagiaan tidak dapat dicapai dengan sempurna. Atas dasar itu, maka setiap individu mendapati posisi sebagai salah satu anggota dari seluruh anggota badan. Manusia menjadi kuat dikarenakan kesempurnaan anggota-anggota badannya.
Selanjutnya Ibn Miskawaih berpendapat, bahwa sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan kondisi yang baik dari luar dirinya. Selanjutnya ia menyatakan bahwa sebaik-baik manusia adalah orang yang berbuat baik terhadap keluarga dan orang-orang yang masih ada kaitan dengannya mulai dari saudara, anak, atau orang yang masih ada hubungannya dengan saudara atau anak, kerabat, keturunan, rekan, tetangga, kawan atau kekasih.
Selanjutnya Ibn Miskawaih berpendapat bahwa salah satu tabiat manusia adalah memelihara diri. Karena itu manusia selalu berusaha untuk memperolehnya bersama dengan makhluk sejenisnya. Di antara cara untuk mencapainya adalah dengan sering bertemu. Manfaat dari hasil pertemuan di antaranya adalah akan memperkuat akidah yang benar dan kestabilan cinta kasih sesamanya. Upaya untuk ini, antara lain dengan melaksanakan kewajiban syari'at. Shalat Jum'at, shalat berjama'ah, shalat hari raya, dan haji menurut Ibn Miskawaih merupakan isyarat bagi adanya kewajiban untuk saling bertemu, sekurang-kurangnya satu minggu sekali. Pertemuan ini bukan saja dengan orang-orang yang berada dalam lingkungan terdekat, tetapi sampai pada tingkat yang paling jauh.
Untuk mencapai keadaan lingkungan yang demikian itu, menurut Ibn Miskawaih terkait dengan politik pemerintahan. Kepala ne-gara berikut aparatnya mempunyai kewajiban untuk mencipta-kannya. Karena itu, Ibn Miskawaih berpendapat bahwa agama dan negara ibarat dua saudara yang saling melengkapi. Satu dengan yang lainnya saling menyempurnakan. Cinta kasih kepala negara (pemimpin) terhadap rakyatnya semisal cinta kasih orang tua terhadap anak-anaknya. Terhadap pemimpin demikian, rakyat wajib mencintainya semisal cinta anak terhadap orang tuanya. Selanjutnya bagaimana dengan lingkungan pendidikan yang merupakan pokok bahasan pada bagian ini. Selama ini dikenal adanya tiga lingkungan pendidikan, yaitu lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Ibn Miskawaih secara eksplisit tidak membicara kan ketiga masalah lingkungan tersebut. Ibn Miskawaih membica-rakan lingkungan pendidikan dengan cara yang bersifat umum. Yaitu dengan membicarakan lingkungan masyarakat pada umumnya, mulai dari lingkungan sekolah yang menyangkut hubungan guru dan murid, lingkungan pemerintahan yang menyangkut hubungan rakyat dengan pemimpinnya, sampai lingkungan rumah tangga yang meliputi hubungan orang tua dengan anak dan anggota lingkungan lainnya. Keseluruhan lingkungan ini satu dan lainnya secara akumulatif berpengaruh terhadap terciptanya lingkungan pendidikan.
Metodologi Pendidikan
Metodologi pendidikan dapat diartikan sebagai cara-cara yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan, yaitu perubahan-perubahan kepada keadaan yang lebih baik dari sebelumnya. Dengan demikian metode ini terkait dengan perubahan atau perbaikan. Jika sasarannya adalah perbaikan akhlak, maka metode pendidikan di sini berkaitan dengan metode pendidikan akhlak. Dalam kaitan ini Ibn Miskawaih berpendirian bahwa masalah perbaikan akhlak bukanlah merupakan bawaan atau warisan, karena jika demikian keadaannya tidak diperlukan adanya pendidikan. Ibn Miskawaih berpendirian bahwa akhlak seseorang dapat diusahakan atau menerima perubahan yang diusahakan. Jika demikian halnya, maka usaha-usaha untuk mengubahnya diperlukan adanya cara-cara yang efektif yang selanjutnya dikenal dengan istilah metodologi.
Metodologi perbaikan akhlak di sini dapat diberi pengertian sebagai metode mencapai akhlak yang baik, dan metode memper-baiki akhlak yang buruk. Walaupun demikian, pembahasannya disa-tukan karena antara satu dengan yang lainnya saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan secara ketat. Terdapat beberapa metode yang diajukan Ibn Miskawaih dalam mencapai akhlak yang baik.
Pertama, adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk berlatih terus-menerus dan menahan diri (al-'adat wa al-jihad) untuk memperoleh keutamaan dan kesopanan yang sebenarnya sesuai dengan keutamaan jiwa. Latihan ini terutama diarahkan agar manusia tidak memperturutkan kemauan jiwa al-syahwaniyyat dan al-ghadabiyyat. Karena kedua jiwa ini sangat terkait dengan alat tubuh, maka wujud latihan dan menahan diri dapat dilakukan antara lain dengan tidak makan dan tidak minum yang membawa kerusakan tubuh, atau dengan melakukan puasa. Apabila kemalasan muncul, maka latihan yang patut dilakukan antara lain adalah bekerja yang di dalamnya mengandung unsur yang berat; seperti mengerjakan shalat yang lima, atau melakukan sebagian pekerjaan baik yang di dalamnya me-ngandung unsur yang melelahkan.
Latihan yang sungguh-sungguh semacam ini diumpamakan oleh Ibn Miskawaih seperti kesiapan raja sebelum berhadapan dengan musuh. Kesiapan dimaksud mengandung pengertian harus dilakukan secara dini, terus-menerus dan tidak menunggu waktu.
Metode semacam ini ditemui pula dalam karya etika para filosof lain seperti halnya yang dilakukan Imam al-Ghazali, Ibn Arabi dan Ibn Sina. Metode semacam ini termasuk metode yang paling efektif untuk memperoleh keutamaan jiwa. Kedua, dengan menjadikan semua pengetahuan dan pengalaman orang lain sebagai cermin bagi dirinya. Adapun pengetahuan dan pengalaman yang dimaksud dengan pernyataan ini adalah pengetahuan dan pengalaman berkenaan dengan hukum-hukum akhlak yang berlaku bagi sebab munculnya kebaikan dan keburukan bagi manusia. Dengan cara ini seseorang tidak akan hanyut ke dalam perbuatan yang tidak baik, karena ia bercermin kepada per-buatan buruk dan akibatnya yang dialami orang lain. Manakala ia mengukur kejelekan atau keburukan orang lain, ia kemudian mencurigai dirinya, bahwa dirinya juga sedikit banyak memiliki kekurangan seperti orang tersebut, lalu menyelidiki dirinya. Dengan demikian, maka setiap malam dan siang ia akan selalu meninjau kembali semua perbuatannya, sehingga tidak satu pun perbuatan-nya terhindar dari perhatiannya.
2. Imam Al-Ghazali
a. Riwayat Hidup
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali dilahirkan di Thus, sebuah kota di Khurasan, Persia, pada tahun 450 H atau 1058 M. Ayahnya seorang pemintal wool, yang selalu memintal dan menjualnya sendiri di kota itu. (Fathiyah Hasan Sulaiman, 1993 : 9) Al-Ghazali mempunyai seorang saudara. Ketika akan meninggal, ayahnya berpesan kepada sahabat setianya agar kedua putranya itu diasuh dan disempurnakan pendidikannya setuntas-tuntasnya. Sahabatnya segera melaksanakan wasiat ayah Al-Ghazali. Kedua anak itu dididik dan disekolahkan, setelah harta pusaka. peninggalan ayah mereka habis, mereka dinasehati agar meneruskan mencari ilmu semampu-mampunya.
Imam Ghazali sejak kecilnya dikenai sebagai seorang anak pencinta ilmu pengetahuan dan penggandrung mencari keberiaran yang hakiki, sekalipun diterpa duka cita, dilanda aneka rupa duka nestapa dan sengsara. Di masa kanak-kanak Imam Ghazali belajar kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Radzikani di Thus kemudian belajar kepada Abi Nashr al-Ismaili di Jurjani dan akhimya ia kembali ke Thus lagi.
Pada kali yang lain diceritakan bahwa dalam perjalanan pulangnya, beliau dan teman-teman seperjalanannya dihadang sekawanan pembegal yang kemudian merampas harta dan kebutuhan-kebutuhan yang mereka bawa. Para pembegal tersebut merebut tas Imam Ghazali yang berisi buku-buku filsafat dan ilmu pengetahuan yang beliau senangi. Kemudian Al-Ghazali berharap kepada mereka agar sudi mengembalikan tasnya, karena beliau ingin mendapatkan berbagai macam ilmu pengetahuan yang terdapat dalam buku itu. Kawanan perampok merasa iba hati dan kasihan padanya, akhirnya mereka mengembalikan kitab-kitab itu kepadanya.
Diceritakan pula setelah peristiwa itu beliau menjadi rajin sekali mempelajari kitab-kitabnya, memahami ilmu yang terkandung di dalamnya dan berusaha mengamalkannya. Bahkan beliau selalu menaruh kitab-kitabnya di suatu tempat khusus yang aman. Sesudah itu Imam Ghazali pindah ke Nisabur untuk belajar kepada seorang ahli agama kenamaan di masanya, yaitu al-Juwaini, Imam al-Harmain (w.478 H. atau 1085 M). Dari beliau ini dia belajar Ilmu kalam, Ilmu Ushul dan Ilmu Pengetahuan Agama lainnya.
Imam Ghazali memang orang yang cerdas dan sanggup men-debat segala sesuatu yang tidak sesuai dengan penalaran yang jernih hingga Imam al-Juwaini sempat memberi predikat beliau itu sebagai orang yang memiliki ilmu yang sangat luas bagaikan "laut dalam yang menenggelamkan (bahrun mughriq)." Ketika gurunya ini meninggal dunia, Al-Ghazali meninggalkan Nisabur menuju ke Istana Nidzam al-Mulk yang menjadi seorang perdana menteri Sultan Bani Saljuk.
Keikutsertaan Ghazali dalam suatu diskusi bersama seke-lompok ulama dan para intelektual di hadapan Nidzam al Mulk membawa kemenangan baginya. Hal itu tidak lain berkat keting-gian ilmu filsafatnya, kekayaan ilmu pengetahuannya, kefasihan lidahnya dan kejituan argumentasinya. Nidzam al-Mulk benar-benar kagum melihat kehebatan beliau ini dan berjanji akan meng-angkatnya sebagai guru besar di Universitas yang didirikannya di Bahgdad. Peristiwa ini terjadi pada tahun 484 atau 1091M.
Di tengah-tengah kesibukannya mengajar di Bahgdad beliau masih sempat mengarang sejumlah kitab seperti: Al Basith, Al Wasith, Al-Wajiz, Khulashah Ilmu Fiqh, Al-Munqil fi Urn al-Jadal (Ilmu Berdebat), Ma'khadz al-Khalaf, Lubab al-Nadzar, Tashin al-Ma'akhidz dan Al-Mabad wa al-Ghayatfi Fann al-Khalaf. Namun kesibukan dalam karang-mengarang ini tidaklah mengganggu perhatian beliau terhadap Ilmu Metafisika dan beliau selalu meragukan kebenaran adat-istiadat warisan nenek moyang di mana belum ada seorang pun yang memperdebatkan soal kebenarannya atau menggali asal-usul dari timbulnya adat istiadat tersebut.
Begitu juga ditengah-tengah kesibukan ini, beliau juga belajar berbagai ilmu pengetahuan dan filsafat klasik seperti Filsafat Yunani, sebagaimana beliau juga mempelajari berbagai aliran agama yang beraneka ragam yang terkenal di waktu itu. Beliau mendalami berbagai bidang studi ini dengan harapan agar dapat meno-longnya mencapai ilmu pengetahuan sejati yang sangat didambakan.
Setelah empat tahun beliau memutuskan untuk berhenti mengajar di Baghdad. Lalu ditinggalkannya kota tersebut untuk me-nunaikan ibadah Haji. Setelah itu beliau menuju ke Syam, hidup dalam Jami' Umawy dengan kehidupan serba penuh ibadah, dilanjutkan mengembara ke berbagai padang pasir untuk melatih diri menjauhi barang-barang terlarang (haram), meninggalkan kesejahteraan dan kemewahan hidup, mendalami masalah keruhanian dan penghayatan agama.
Demikianlah Imam Ghazali mempersiapkan dirinya dengan persiapan agama yang benar dan mensucikan jiwanya dari noda-noda keduniaan, sehingga beliau menjadi seorang filosof ahli tasa-wuf pertama kali dan seorang pembela agama Islam yang besar serta salah seorang pemimpin yang menonjol di zamannya.
Kemudian pada suatu waktu, beliau pulang ke Baghdad kembali mengajar di sana. Hanya saja beliau menjadi guru besar dalam bidang studi lain tidak seperti dahulu lagi. Setelah menjadi guru besar dalam berbagai ilmu pengetahuan agama, sekarang tugasnya menjadi Imam ahli agama dan tasawuf serta penasihat spesialis dalam bidang agama.
Kitab pertama yang beliau karang setelah kembali ke Baghdad ialah kitab Al-Munqidz min al-Dholal (Penyelamat dari Kesesatan). Kitab ini dianggap sebagai salah satu buku referensi yang penting bagi sejarawan yang ingin mendapatkan pengetahuan tentang kehidupan Imam Ghazali. Kitab ini mengandung keterangan sejarah hidupnya di waktu transisi yang mengubah pandangannya tentang nilai-nilai kehidupan. Dalam kitab ini juga, beliau menjelaskan bagaimana Iman dalam jiwa itu tumbuh dan berkembang, bagaimana hakikat ketuhanan itu dapat tersingkap atau terbuka bagi ummat manusia, bagaimana mencapai pengetahuan sejati (Ilmu yaqin) dengan cara tanpa berpikir dan logika namun dengan cara ilham dan mukasyafah (terbuka hijab) menurut ajaran tasawuf.
Sekembalinya Imam Ghazali ke Bahgdad sekitar sepuluh tahun, beliau pindah ke Naisaburi dan sibuk mengajar di sana dalam waktu yang tidak lama, setelah itu beliau meninggal dunia di kota Thus, kota kelahirannya, pada tahun 505 H. atau 1111 M.
b. Konsep Pendidikan Al-Ghazali
Untuk mengetahui konsep pendidikan Al-Ghazali ini dapat diketahui antara lain dengan cara mengetahui dan memahami pemikirannya yang berkenaan dengan berbagai aspek yang ber-kaitan dengan pendidikan, yaitu aspek tujuan pendidikan, kurikulum, metode, etika guru dan etika murid berikut ini.
1. Tujuan Pendidikan
Rumusan tujuan pendidikan pada hakikatnya merupakan rumusan filsafat atau pemikiran yang mendalam tentang pendidikan. Seseorang baru dapat merumuskan suatu tujuan kegiatan, jika ia memahami secara benar filsafat yang mendasarinya. Rumusan tujuan ini selanjutnya akan menentukan aspek kurikulum, metode, guru dan lainnya yang berkaitan dengan pendidikan. Dari hasil studi terhadap pemikiran Al-Ghazali dapat diketahui dengan jelas, bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai melalui kegiatan pendidikan ada dua. Pertama, tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah, dan kedua, kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat.(Fathiyah Hasan Sulaiman, 1993 : 48) Karena itu ia bercita-cita mengajarkan manusia agar mereka sampai pada sasaran-sasaran yang merupakan tujuan akhir dan maksud pendidikan itu. Tujuan ini tampak bemuansa religius dan moral, tanpa mengabaikan masalah duniawi.
Pendidikan Islam itu secara umum mempunyai corak yang spesifik, yaitu adanya cap (stempel) agama dan etika yang kelihatan nyata pada sasaran-sasaran dan sarananya, dengan tidak mengabaikan masalah-masalah keduniaan. Dan pendapat Al-Ghazali tentang pendidikan pada umumnya sejalan dengan trend-trend agama dan etika. Al-Ghazali juga tidak melupakan masalah-masalah duniawi, karenanya ia beri ruang dalam sistem pendidikannya bagi perkembangan duniawi. Tetapi dalam pandangannya, mempersiapkan diri untuk masalah-masalah dunia itu hanya dimaksudkan sebagai jalan menuju kebahagiaan hidup di alam akhirat yang lebih utama dan kekal. Dunia adalah alat perkebunan untuk kehidupan akhirat, sebagai alat yang akan mengantarkan seseorang menemui Tuhannya. Ini tentunya bagi yang memandangnya sebagai alat dan tempat tinggal sementara, bukan bagi orang yang memandangnya sebagai tempat untuk selamanya.
Akan tetapi pendapat Al-Ghazali tersebut, di samping bercorak agamis yang merupakan ciri spesifik pendidikan Islam, tampak pula cenderung kepada sisi keruhanian. Dan kecenderungan tersebut menurut keadaannya yang sebenarnya, sejalan dengan filsafat al-Ghazali yang bercorak Tasawuf. Maka sasaran pendidikan, menurut Al-Ghazali, adalah kesempurnaan insani di dunia dan akhirat. Dan manusia akan sampai kepada tingkat kesempurnaan itu hanya dengan menguasai sifat keutamaan melalui jalur ilmu. Keutamaan itulah yang akan membuat dia bahagia di dunia dan mendekatkan dia kepada Allah SWT. sehingga ia menjadi bahagia di akhirat kelak.
Sungguhpun Al-Ghazali dikenal sebagai orang yang terkendali oleh jiwa agamis dan sufi yang mana keduanya telah mempengaruhi pandangannya tentang hidup, tentang nilai-nilai yang terda-pat dalam kehidupan dan kedua-duanya juga telah membuat dia mencari jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mencari kebahagiaan di akhirat, namun ia tidak lupa bahwa ilmu itu sendiri perlu dituntut, mengingat keutamaan dan keindahan yang dimilikinya. Ia melihat bahwa ilmu itu sendiri adalah keutamaan dan ia melebihi segala-galanya. Oleh karena itu, menguasai ilmu bagi dia, termasuk tujuan pendidikan, mengingat nilai yang dikandungnya serta kelezatan dan kenikmatan yang diperoleh manusia padanya.
la kemukakan; apabila anda melihat kepada ilmu maka tampak oleh anda bahwa ilmu itu sendiri adalah lezat dan oleh karena itu pula maka ilmu itu sendiri selalu dicari. Anda juga akan mengetahui bahwa ia merupakan jalan yang akan mengantarkan anda kepada kebahagiaan di negeri akhirat; sebagai medium untuk taqarrub kepada Allah, di mana tak satupun bisa sampai kepadanya tanpa ilmu; tingkat termulia bagi seorang manusia adalah kebahagiaan yang abadi; di antara wujud yang paling utama adalah wujud yang menjadi perantara kebahagiaan; tetapi kebahagiaan itu tak mungkin tercapai kecuali dengan ilmu dan amal; dan amal tak mungkin dicapai kecuali jika ilmu tentang cara beramal dikuasai.
Dengan demikian, maka modal kebahagiaan di dunia dan akhirat itu, tak lain, adalah ilmu. Kalau demikian, maka ilmu adalah amal yang terutama.
2. Kurikulum
Konsep kurikulum yang dikemukakan Al-Ghazali terkait erat dengan konsepnya mengenai ilmu pengetahuan. Dalam pandangan Al-Ghazali ilmu terbagi kepada tiga bagian, sebagai berikut.
Pertama, ilmu-ilmu yang terkutuk baik sedikit maupun banyak, yaitu ilmu-ilmu yang tidak ada manfaatnya, baik di dunia maupun di akhirat, seperti ilmu sihir, ilmu nujum dan ilmu ramalan. Al-Ghazali menilai ilmu tersebut tercela karena ilmu-ilmu tersebut terkadang dapat menimbulkan mudharat (kesusahan) baik bagi yang memilikinya, maupun bagi orang lain. Ilmu sihir dan ilmu guna-guna misalnya dapat mencelakakan orang, dan dapat memisahkan antara sesama manusia yang bersahabat atau saling mencintai, menyebarkan rasa sakit hati, permusuhan, menimbulkan kejahatan dan sebagainya. Selanjutnya ilmu nujum yang tergolong ilmu yang tidak tercela ini menurut Al-Ghazali dapat dibagi dua, yaitu ilmu nujum yang berdasarkan perhitungan (hisab), dan ilmu nujum yang berdasarkan istidlaly, yaitu semacam astrologi dan meramal nasib berdasarkan petunjuk bintang. Ilmu nujum jenis kedua ini menurut Al-Ghazali tercela menurut syara', sebab dengan ilmu itu dapat menyebabkan manusia menjadi ragu pada Allah, lalu menjadi kafir. Misalnya, suatu ketika seorang tukang nujum meramalkan bakal terjadi sesuatu di langit dengan berpedoman pada keyakinan langsung atau berdasarkan studi tentang bintang-bintang, kemudian pada waktu terjadinya peristiwa yang diramalkan itu, secara kebetulan terjadi tepat pada waktu yang ditentukan sebelumnya, tentu manusia akan merasa takjub atas kemampuan tukang nujum itu, dan seterusnya orang-orang-tersebut akan percaya pada ramalan tukang nujum itu. Kesempatan ini bisa jadi dimanfaatkan oleh tukang nujum untuk menyatakan dirinya sebagai nabi, orang sakti dan sebagainya. Keadaan tersebut selanjutnya akan ia gunakan untuk memperluas pengaruhnya di tengah-tengah masyarakat, memaksa orang lain untuk melayani keperluannya dan seterusnya. Masih berkenaan dengan ilmu ini Al-Ghazali mengatakan, bahwa dengan menyelami ilmu ini tidak akan membawa manfaat, dan terkadang membawa manusia menjadi kufur kepada Allah SWT. seperti mempelajari bagian-bagian yang rumit dari suatu ilmu sebelum memahami bagian-bagiannya yang jelas, atau seperti mempelajari tentang rahasia-rahasia Ilahiyat. Ia sebutkan juga beberapa ilmu lain yang di antaranya adalah bagian dari ilmu filsafat seperti metafisika.
Masih dalam ilmu yang termasuk bagian pertama di atas, al-Ghazali mengatakan bahwa mempelajari filsafat bagi setiap orang tidaklah wajib, karena menurut tabi'atnya tidak semua orang dapat mempelajari ilmu tersebut dengan baik. Orang-orang yang mempelajari ilmu tersebut tak ubahnya seperti anak kecil yang masih menyusu. Anak kecil itu akan jatuh sakit apabila ia makan daging burung atau makan macam-macam makanan, yang belum dapat dicerna oleh perut besarnya. Hal ini akan dapat membahayakannya.
Kedua, ilmu-ilmu yang terpuji baik sedikit maupun banyak, yaitu ilmu yang erat kaitannya dengan peribadatan dan macam-macamnya, seperti ilmu yang berkaitan dengan kebersihan diri dari cacat dan dosa serta ilmu yang dapat menjadi bekal bagi seseorang untuk mengetahui yang baik dan melaksanakannya, ilmu-ilmu yang mengajarkan manusia tentang cara-cara mendekatkan diri kepada Allah dan melakukan sesuatu yang diridlai-Nya, serta dapat membekali hidupnya di akhirat.
Terhadap ilmu model kedua Al-Ghazali membaginya kepada dua bagian. Pertama, wajib 'aini dan wajib kifayah. Selanjutnya al-Ghazali mengatakan bahwa di antara para ulama masih terdapat perbedaan pendapat mengenai ilmu yang tergolong wajib ini. Ada yang mengatakan, bahwa ilmu yang wajib dipelajari itu adalah mengenai zat dan sifat-sifat-Nya. Yang lain lagi mengatakan bahwa ilmu yang wajib itu adalah ilmu fiqih, sebab dengan ilmu ini seseorang akan mengetahui masalah ibadah, mengenai yang halal dan haram, baik yang menyangkut tingkah-laku secara umum, ataupun yang menyangkut bidang mu'amalah. Sementara itu yang lain meman-dang bahwa ilmu yang wajib itu adalah ilmu al-Qur'an dan As-Sun-nah, karena dengan mengetahui al-Qur'an dan As-Sunnah tersebut seseorang dapat mengenai agama dengan baik, dan dapat semakin dekat kepada Tuhan.
Sementara Al-Ghazali sendiri memandang bahwa ilmu-ilmu yang yajib 'aini bagi setiap Muslim itu adalah ilmu-ilmu agama dengan segala jenisnya, mulai dari kitab Allah, ibadat yang pokok seperti shalat, puasa, zakat dan sebagainya. Bagi Al-Ghazali, ilmu yang wajib 'aini itu adalah ilmu tentang cara mengamalkan amalan yang wajib. Jadi siapa yang mengetahui ilmu yang wajib itu, maka ia akan mengetahui kapan waktu wajibnya.
Sedangkan ilmu-ilmu yang termasuk fardlu kifayah adalah semua ilmu yang mungkin diabaikan untuk kelancaran semua urusan, seperti ilmu kedokteran yang menyangkut keselamatan tubuh atau ilmu hitung yang sangat diperlukan dalam hubungan mu'amalah,
Pembagian wasiat dan warisan dan lain sebagainya. Ilmu-ilmu itu jika tidak ada seorangpun dari suatu penduduk yang menguasainya, maka berdosa seluruhnya. Sebaliknya jika telah ada salah seorang yang menguasai dan dapat mempraktekkannya maka ia sudah dianggap cukup dan tuntutan wajibnya pun lepas dari yang lain. Dengan demikian, ilmu yang wajib kifayah ini adalah setiap ilmu yang tak dapat ditinggalkan dalam kehidupan masyarakat, karena apabila sebagian anggota masyarakat telah menguasainya, maka masyarakat lainnya terlepas dari tuntutan kewajiban, sebab keperluan masyarakat telah terpenuhi oleh sebagian anggotanya. Di antara contoh-contoh ilmu yang wajib kifayah itu adalah ilmu kedokteran dan ilmu hitung. Menurutnya bahwa masyarakat tanpa ilmu ini adalah masyarakat yang tidak sehat. Al-Ghazali juga menilai tentang adanya bidang pekerjaan yang termasuk ke dalam kelompok wajib kifayah, seperti ilmu pertanian, menenun, administrasi dan jahit-menjahit.
Ketiga, ilmu-ilmu yang terpuji dalam kadar tertentu, atau se-dikit, dan tercela jika dipelajarinya secara mendalam, karena dengan mempelajarinya secara mendalam itu dapat menyebabkan terjadinya kekacauan dan kesemrawutan antara keyakinan dan ke-raguan, serta dapat pula membawa kepada kekafiran, seperti ilmu filsafat. Mengenai ilmu filsafat dibagi oleh Al-Ghazali menjadi ilmu matematika, ilmu-ilmu logika, ilmu Ilahiyat, ilmu fisika, ilmu politik dan ilmu etika.
3. Metode Pengajaran
Perhatian Al-Ghazali dalam bidang metode ini lebih ditujukan pada metode khusus bagi pengajaran agama untuk anak-anak. Untuk ini ia telah mencontohkan sebuah metode keteladanan bagi mental anak-anak, pembinaan budi pekerti dan penanaman sifat-sifat keutamaan pada diri mereka. Perhatian Al-Ghazali akan pendidikan agama dan moral ini sejalan dengan kecenderungan pendi-dikannya secara umum, yaitu prinsip-prinsip yang berkaitan secara khusus dengan sifat yang harus dimiliki oleh seorang guru dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini mendapatkan perhatian khusus dari Al-Ghazali, karena berdasar pada prinsipnya yang mengatakan bahwa pendidikan adalah sebagai kerja yang memerlukan hu-bungan yang erat antara dua pribadi, yaitu guru dan murid. Dengan demikian faktor keteladanan yang utama menjadi bagian dari metode pengajaran yang amat penting.
Tentang pentingnya keteladanan utama dari seorang guru tersebut di atas, juga dikaitkan dengan pandangannya tentang pe-kerjaan mengajar. Menurutnya mengajar adalah pekerjaan yang paling mulia dan sekaligus sebagai tugas yang paling agung. Pendapatnya ini, ia kuatkan dengan beberapa ayat Al-Qur'an dan hadits Rasulullah SAW., serta pengulangan berkali-kali tentang tingginya status guru yang sejajar dengan tugas kenabian. Lebih lanjut al-Ghazali mengatakan bahwa wujud yang termulia di muka bumi ini adalah manusia, dan bagian inti manusia yang termulia adalah hatinya. Guru bertugas menyempurnakan, menghias, mensucikan dan menggiringnya mendekati Allah SWT. Dengan demikian, mengajar adalah bentuk lain pengabdian manusia kepada Tuhan dan menjunjung tinggi perintah-Nya. Menurutnya Allah telah menghiasi hati seorang alim dengan ilmu yang merupakan sifat-Nya yang paling khusus. Seorang alim adalah pemegang kas, ia bukan pemilik kas dalam sistem perbendaharaan. Ia dibenarkan berbe-lanja dengan uang kas itu untuk siapa saja yang memerlukannya. Kiranya tidak ada lagi martabat yang lebih tinggi dari pada sebagai perantara antara Tuhan dengan makhluk-Nya dalam mendekat-kannya kepada Allah, dan menggiringnya kepada surga tempat tinggal tertinggi.
4. Kriteria Guru Yang Baik
Sejalan dengan uraian tersebut di atas, Al-Ghazali sampai pada uraian mengenai kriteria guru yang baik. Menurutnya bahwa guru yang dapat diserahi tugas mengajar adalah guru yang selain cerdas dan sempuma akalnya, juga guru yang baik akhlaknya dan kuat fisiknya. Dengan kesempumaan akal ia dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, dan dengan akhlaknya yang baik ia dapat menjadi contoh dan teladan bagi para muridnya, dan dengan kuat fisiknya ia dapat melaksanakan tugas mengajar, mendidik dan mengarahkan anak-anak muridnya.
Selain sifat-sifat umum yang harus dimiliki guru sebagaimana disebutkan di atas, seorang guru juga harus memiliki sifat-sifat khu-sus atau tugas-tugas tertentu sebagai berikut :
Pertama, kalau praktek mengajar dan penyuluhan sebagai keahlian dan profesi dari seorang guru, maka sifat terpenting yang harus dimilikinya adalah rasa kasih sayang. Sifat ini dinilai penting ka-rena akan dapat menimbulkan rasa percaya diri dan rasa tenteram pada diri murid terhadap gurunya. Hal ini pada gilirannya dapat menciptakan situasi yang mendorong murid untuk menguasai ilmu yang diajarkan oleh seorang guru.
Kedua, karena mengajarkan ilmu merupakan kewajiban agama bagi setiap orang yang alim (berilmu), maka seorang guru tidak boleh menuntut upah atas jerih payahnya mengajarnya itu. Seorang guru harus meniru Rasulullah SAW. yang mengajar ilmu hanya karena Allah, sehingga dengan mengajar itu ia dapat mendekatkan dirinya kepada Allah SWT. Demikian pula seorang guru tidak dibe-narkan minta dikasihani oleh muridnya, melainkan sebaliknya ia harus berterima kasih kepada muridnya atau memberi imbalan kepada muridnya apabila ia berhasil membina mental. Murid telah memberi peluang kepada guru untuk dekat pada Allah SWT. Namun hal ini bisa terjadi jika antara guru dan murid berada dalam satu tempat, ilmu yang diajarkannya terbatas pada ilmu-ilmu yang sederhana, tanpa memerlukan tempat khusus, sarana dan lain sebagainya. Namun jika guru yang mengajar harus datang dari tempat yang jauh, segala sarana yang mendukung pengajaran harus dibeli dengan dana yang besar, serta faktor-faktor lainnya harus diupayakan dengan dana yang tidak sedikit, maka akan sulit dilakukan kegiatan pengajaran apabila gurunya tidak diberikan imbalan kesejahteraan yang memadai.
Ketiga, seorang guru yang baik hendaknya berfungsi juga sebagai pengarah dan penyuluh yang jujur dan benar di hadapan murid-muridnya. Ia tidak boleh membiarkan muridnya mempelajari pelajaran yang lebih tinggi sebelum ia menguasai pelajaran yang sebelumnya. Ia juga tidak boleh membiarkan waktu berlalu tanpa peringatan kepada muridnya bahwa tujuan pengajaran itu adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT, dan bukan untuk mengejar pangkat, status dan hal-hal yang bersifat keduniawian. Seorang guru juga tidak boleh tenggelam dalam persaingan, perselisihan dan pertengkaran dengan sesama guru lainnya.
Keempat, dalam kegiatan mengajar seorang guru hendaknya menggunakan cara yang simpatik, halus dan tidak menggunakan kekerasan, cacian, makian dan sebagainya. Dalam hubungan ini seorang guru hendaknya jangan mengekspose atau menyebarluaskan kesalahan muridnya di depan umum, karena cara itu dapat menyebabkan anak murid memiliki jiwa yang keras, menentang, membangkang dan memusuhi gurunya. Dan jika keadaan ini terjadi dapat menimbulkan situasi yang tidak mendukung bagi terlaksananya pengajaran dengan baik.
Kelima, seorang guru yang baik juga harus tampil sebagai teladan atau panutan yang baik di hadapan murid-muridnya. Dalam hubungan ini seorang guru harus bersikap toleran dan mau menghargai keahlian orang lain. Seorang guru hendaknya tidak mencela ilmu-ilmu yang bukan keahlian atau spesialisasinya. Kebiasaan seorang guru yang mencela guru ilmu fiqih, dan guru ilmu fiqih mencela guru hadits dan tafsir, adalah guru yang tidak baik.( A1-Ghazali, tt : 50).
Keenam, seorang guru yang baik juga harus memiliki prinsip mengakui adanya perbedaan potensi yang dimiliki murid secara individual, dan memperlakukannya sesuai dengan tingkat perbedaan yang dimiliki muridnya itu. Dalam hubungan ini, Al-Ghazali menasehatkan agar guru membatasi diri dalam mengajar sesuai dengan batas kemampuan pemahaman muridnya, dan ia sepantasnya tidak memberikan pelajaran yang tidak dapat dijangkau oleh akal muridnya, karena hal itu dapat menimbulkan rasa antipati atau merusak akal muridnya.
Ketujuh, seorang guru yang baik menurut Al-Ghazali adalah guru yang di samping memahami perbedaan tingkat kemampuan dan kecerdasan muridnya, juga memahami bakat, tabi'at dan kejiwa-an muridnya sesuai dengan tingkat perbedaan usianya. Kepada mu-rid yang kemampuannya kurang, hendaknya seorang guru jangan mengajarkan hal-hal yang rumit sekalipun guru itu menguasainya. Jika hal ini tidak dilakukan oleh guru, maka dapat menimbulkan rasa kurang senang kepada guru, gelisah dan ragu-ragu.
Kedelapan, seorang guru yang baik adalah guru yang berpegang teguh kepada prinsip yang diucapkannya, serta berupaya un-tuk merealisasikannya sedemikian rupa. Dalam hubungan ini al-Ghazali mengingatkan agar seorang guru jangan sekali-kali melakukan perbuatan yang bertentangan dengan prinsip yang dikemukakannya. Sebab jika hal itu dilakukan akan menyebabkan seorang guru kehilangan wibawanya. Ia akan menjadi sasaran penghinaan dan ejekan yang pada gilirannya akan menyebabkan ia kehilangan kemampuan dalam mengatur murid-muridnya. Ia tidak akan mampu lagi mengarahkan atau memberi petunjuk kepada murid-muridnya.
Dari delapan sifat guru yang baik sebagaimana dikemukakan di atas, tampak bahwa sebagiannya masih ada yang sejalan dengan tuntutan masyarakat modern. Sifat guru yang mengajarkan pelajaran secara sistematik, yaitu tidak mengajarkan bagian berikutnya sebelum bagian terdahulu dikuasai, memahami tingkat perbedaan kejiwaan dan kemampuan intelektual para siswa, bersikap simpatik, tidak menggunakan cara-cara kekerasan, serta menjadi pribadi panutan dan teladan adalah sifat-sifat yang tetap sejalan dengan tuntutan masyarakat modern.
5. Sifat Murid Yang Baik
Sejalan dengan tujuan pendidikan sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT., maka belajar termasuk ibadah. Dengan dasar pemikiran ini, maka seorang murid yang baik, adalah murid yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
Pertama, seorang murid harus berjiwa bersih, terhindar dari budi pekerti yang hina dina dan sifat-sifat tercela lainnya. Sebagaimana halnya shalat, maka menuntut ilmu pun demikian pula. Ia harus dilakukan dengan hati yang bersih, terhindar dari hal-hal yang jelek dan kotor, termasuk di dalamnya sifat-sifat yang rendah seperti marah, sakit hati, dengki, tinggi hati, 'ujub, takabur dan sebagainya.
Kedua, seorang murid yang baik, juga harus menjauhkan diri dari persoalan-persoalan duniawi, mengurangi keterikatan dengan dunia, karena keterikatan kepada dunia dan masalah-masalahnya dapat mengganggu lancamya penguasaan ilmu. Hal ini terlihat dalam ucapan Al-Ghazali yang mengatakan: "bahwa ilmu itu tidak akan memberikan sebagian dirinya kepadamu sebelum engkau memberikan seluruh dirimu kepadanya, dan jika engkau memberikan seluruh dirimu kepadanya, maka ilmu pun pasti akan memberikan sebagian dirinya kepadamu. Pikiran yang dibagi-bagikan untuk hal-hal yang berbeda-beda sama halnya dengan anak sungai yang dibagi-bagi ke dalam beberapa cabang. Sebagian airnya diserap oleh tanah dan sebagian lagi menguap ke udara, sehingga tidak ada lagi yang tinggal untuk digunakan pada pertanian."
Ketiga, seorang murid yang baik hendaknya bersikap rendah hati atau tawadlu. Sifat ini begitu amat ditekankan oleh Al-Ghazali. Al-Ghazali menganjurkan agar jangan ada murid yang merasa lebih besar daripada gurunya, atau merasa ilmunya lebih hebat daripada ilmu gurunya. Murid yang baik harus menyerahkan persoalan ilmu kepada guru, mendengarkan nasehat dan arahannya sebagaimana pasien yang mau mendengarkan nasehat dokternya.
Keempat, khusus terhadap murid yang baru hendaknya jangan mempelajari ilmu-ilmu yang saling berlawanan, atau pendapat yang saling berlawanan atau bertentangan. Seorang murid yang baru hendaknya tidak mempelajari aliran-aliran yang berbeda-beda, atau terlibat dalam berbagai perdebatan yang membingungkan. Hal ini perlu diingat, karena murid yang bersangkutan belum siap memahami berbagai pendapat yang berbeda-beda itu, sehing-ga tidak terjadi kekacauan. Seharusnya pada tahap-tahap awal, seorang murid menguasai dan menekuni aliran yang benar yang dise-tujui oleh guru. Setelah itu, mungkin ia dapat menyertai perdebatan diskusi atau mempelajari aliran-aliran yang bertentangan.
Kelima, seorang murid yang baik hendaknya mendahulukan mempelajari yang wajib. Pengetahuan yang menyangkut berbagai segi (aspek) lebih baik daripada pengetahuan yang menyangkut hanya satu segi saja. Mempelajari Al-Qur'an misalnya harus didahulukan, karena dengan menguasai Al-Qur'an dapat mendukung pelaksanaan ibadah, serta memakami ajaran agama Islam secara keseluruhan, mengingat Al-Qur'an adalah sumber utama ajaran Islam. Hal ini sejalan dengan pendapat Al-Ghazali yang mengatakan bahwa ilmu-ilmu yang ada itu saling berkaitan dan berhubungan antara satu dengan yang lainnya, di mana biasa terjadi keawaman terhadap salah satunya lebih ringan dibandingkan terhadap ilmu lainnya.
Keenam, seorang murid yang baik hendaknya mempelajari ilmu secara bertahap. Seorang murid dinasehatkan agar tidak men-dalami ilmu secara sekaligus, tetapi memulai dari ilmu-ilmu agama clan menguasainya dengan sempurna. Setelah itu, barulah ia melangkah kepada ilmu-ilmu lainnya, sesuai dengan tingkat kepentingannya. Jika ia tidak mempunyai waktu untuk mendalaminya secara sempurna, maka seharusnya ia pelajari saja rangkumannya.
Ketujuh, seorang murid hendaknya tidak mempelajari satu disiplin ilmu sebelum menguasai disiplin ilmu sebelumnya. Sebab ilmu-ilmu itu tersusun dalam urutan tertentu secara alami, di mana sebagiannya merupakan jalan menuju kepada sebagian yang lain. Murid yang baik dalam belajarnya adalah yang tetap memelihara urutan dan pentahapan tersebut.
Kedelapan, seorang murid hendaknya juga mengenal nilai setiap ilmu yang dipelajarinya. Kelebihan dari masing-masing ilmu serta hasil-hasilnya yang mungkin dicapai hendaknya dipelajarinya dengan baik. Dalam hubungan ini Al-Ghazali mengatakan bahwa nilai ilmu itu tergantung pada dua hal, yaitu hasil dan argumentasinya. Ilmu agama misalnya berbeda nilainya dengan ilmu kedokteran. Hasil ilmu agama adalah kehidupan yang abadi, sedangkan hasil ilmu kedokteran adalah kehidupan yang sementara. Oleh karena itu ilmu agama kedudukannya lebih mulia daripada ilmu kedokteran. Contoh lain adalah ilmu hitung dan ilmu nujum. Ilmu hitung lebih mulia daripada ilmu nujum, karena dalilnya lebih kuat dan teguh daripada dalil ilmu nujum. Selanjutnya jika ilmu kedokteran dibandingkan dengan ilmu hitung, maka tergantung dari sudut mana melihatnya.
E. PENUTUP
Islam sebagai agama yang membawa misi rahmat bagi seluruh alam memerlukan sarana untuk menerapkannya secara efektif dan efisien. Sarana tersebut salah satunya adalah pendidikan. Dengan demikian, pendidikan yang diterapkan harus bertolak dari kerangka dan visi ajaran Islam tersebut. Dengan ini, maka seluruh aspek yang terkait dengan pendidikan, mulai dari tujuan, kurikulum, guru, metode dan lainnya harus tetap didasarkan pada misi ajaran Islam tersebut.
Dalam perjalanannya yang cukup panjang, ummat Islam telah mengembangkan kegiatan pendidikan mulai dari tingkat dasar sampai dengan tingkat perguruan tinggi. Dari upaya ini telah banyak dilahirkan para ilmuwan ensiklopedik yang karya-karyanya masih dapat kita jumpai hingga sekarang dalam berbagai ilmu pengetahuan, baik ilmu agama maupun ilmu non-agama dengan berbagai cabang-nya. Munculnya para ilmuwan yang demikian, sudah dapat dipastikan karena adanya konsep dan sistem pendidikan yang beroperasi di dalamnya.
Pemikiran para pakar menunjukkan dengan jelas bahwa masalah pendidikan adalah masalah yang universal, dalam arti akan ada pada setiap bangsa dan setiap zaman. Kajian terhadap masalah pendidikan tidak akan berakhir, mengingat zaman selalu berkembang, dan tuntutan masyarakat terhadap pendidikan juga terus berkembang.
Tanggung jawab para kaum intelektual Muslim terhadap bidang pendidikan sebagaimana dikemukakan dalam pembahasan makalah ini, tampaknya perlu ditindak lanjuti demi kemajuan ummat manusia. Untuk itu kajian terhadap masalah pendidikan dan upaya menerapkannya merupakan tuntutan yang tidak dapat ditawar-tawar.
Kini kita membutuhkan adanya konsep pendidikan yang dapat menghasilkan lulusan yang unggul yang mampu eksis secara fungsional di tengah-tengah masyarakat yang semakin penuh per-saingan. Hasil Pemikiran dan konsep para pakar yang telah dijelasakan dalam makalah ini, tampaknya perlu dijadikan bahan renungan untuk selanjutnya dipikirkan kemungkinan pelaksanaannya, apabila dalam pemikiran mereka itu masih ada yang cocok untuk diterapkan di masa sekarang.
DAFTAR PUSTAKA
Abd ar-Rahman Badawi dalam M.M. Syarif, (ed.), A History of Muslim Philosophy, (Weisbaden: Otto Harrosowitz, 1963), Vol. I.
Abd al-Halim Mahmud, At-Tafkir al-Falsafi fi al-lslam, Beirut: Dar al-Kitab al-Lubrani, 1982.
Ahmad Amin, Zhur Islam, Kairo, TP, 1962, Vol. II, cet. Ill.
Ahmad Abd al-Hamid as-Sya'ir, Manabij al-Bahs al-Khuluqi fi al-Fikr al-hlami, Kairo, Dar al-Thiba'at al-Muhammadiyat, 1979, cet. I, him. 216.
Al-Syaibany, Umar Muhammad al-Toumy, Al-Usus al-Nafsiyyat wa al-Tarbiyyat Li Ri 'ayatal-Syabab, Kahirat, Dar al-Ma'arif, 1966.
Baiquni, A., Islam dan Ilmu Pengetahuan Modern, Bandung, Pustaka Salman, 1983.
Barnadib, Imam, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta, IKIP-FKIP GAMA Press, 1984.
--------------------, Filsafat Pendidikan : Tinjauan Mengenai Beberapa Aspek dan Proses Pendidikan, Yogyakarta, Andi Offset, 1986.
B.H. Siddiqui, Miskawaih on the Purpose of Historiography dalam The Muslim World , USA, The Hartford Seminary Foundation, 1971, Vol. LXI, hlm.21.
Fathiyah Hasan Sulaiman, Aliran-aliran dalam pendidikan (Studi ten-tang Aliran Pendidikan Menurut Al-Ghazali), (terj.) Dr.H.S. Agil Husin Al-Munawar, MA. dan Hadri Hasan, MA., dari judul asli Kitab Mazahibfi at-Tarbiyab Bahtsun fi al-Mazbabi at-Tarbawy 'indAl-Ghazali, (Semarang: Toha Putra, 1993), cet. I
Garaudy, Roger, Mencari Agama Pada Abad XX, terj. H.M. Rasjidi, Jakarta, Bulan Bintang, 1986.
Ghazali, al, Ihya ulum ad-Din, Juz III, Beirut, Dar Al-fikr, tt
Hasan Tamim 'al-Muqadimah, Tahzib al-Akhlaq iva Tathhir al-A'raq, Beirut, Mansyurat Dar al-Maktabah al-Hayat, 1398 H.), cet. II.
H.M. Arifin, M.Ed., Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta; Bumi Aksafa, 1991), cet. I,
Ibn Miskawaih, Tabzib al-Akhlak, Beirut, Mansyurat Dar Maktabat al-Hayat, 1398 H.) cet.
James Legge (penterjemah), The Four Book: Confucian Analect, The Great Learning, The Doctrin of The Mean, and the Works of Mencius and Wing-Tsit Chan, A Source Book in Chinese Philosophy, New Jersey: Princenton University Press, 1963.
Langgulung, Hasan, Manusia dan Pendidikan, Jakarta, al-Husna, 1986.
------------------, Pendidikan dan Peradaban, Jakarta, al-Husna, 1986.
-------------------, Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta, Al-Husna, 1987.
-------------------, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke-21, Jakarta, al-Husna, 1989.
Muhammad Yusuf Musa, Falsafat al-Akhlak fi al-lslam, Kairo, Muassasat al-Khanji, 1963, cet.III.
Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1973.
Suriasumantri, Jujun S, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta, Sinar Harapan, 1991.
Tintus, Harold H., Marilyn S. Smith dan Richard T. Nolan, Persoalan-persoalan Filsafat, terj. H.M. Rasjidi, Jakarta, Bulan Bintang, 1984.
William R. Ottal, The Psychobiology of Mind, New Jersey: Lawrence Erlbaum Association, 1978
Tidak ada komentar:
Posting Komentar